Senin, 31 Agustus 2009

ARTIKEL 6

22

 

POLITIK HUKUM KEBIJAKAN LEGISLASI PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN TERHADAP  KESALAHAN DAN HARTA KEKAYAAN PELAKU TINDAK  PIDANA KORUPSI

 

 

Oleh:

 

DR. LILIK MULYADI, S.H., M.H.[1]

 

 

 

  1. PENDAHULUAN

     Dimensi Ilmu Hukum hakikatnya teramat luas. Diibaratkan sebuah “pohon”, hukum adalah sebuah pohon besar dan rindang yang terdiri dari daun, akar, ranting, batang, buah yang teramat lebat. Karena begitu lebatnya hukum tersebut dapat dikaji dari perspektif asasnya, sumbernya, pembedaannya, penggolongannya dan lain sebagainya. Apabila dikaji dari perspektif penggolongannya hukum dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, bentuknya, isinya, tempat berlakunya, masa berlakunya, cara mempertahankannya, sifatnya, dan berdasarkan wujudnya.[2]

              Dikaji dari perspektif pembagian hukum berdasarkan isinya maka dikenal klasifikasi hukum publik dan hukum privat. Lebih lanjut, menurut doktrin, ketentuan hukum publik merupakan hukum yang mengatur kepentingan umum (algemene belangen) sedangkan ketentuan hukum privat mengatur kepentingan perorangan (bijzondere belangen). Apabila ditinjau dari aspek fungsinya maka salah satu ruang lingkup hukum publik adalah hukum pidana yang secara esensial dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil (materieel strafrecht) dan hukum pidana formal (Formeel Strafrecht/Strafprocesrecht).

         Tindak pidana korupsi merupakan  salah  satu  bagian  dari  hukum  pidana khusus. Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi  tertentu  yang  berbeda  dengan  hukum  pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003) mendiskripsikan masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum. Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (selanjutnya disingkat KAK 2003) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006, menimbulkan implikasi karakteristik dan subtansi gabungan dua sistem hukum yaitu “Civil Law” dan “Common Law”, sehingga akan berpengaruh kepada hukum positif yang mengatur tindak pidana korupsi di Indonesia.

       Selain itu, dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Collar Crime dan mempunyai akibat kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat internasional. Konggres PBB ke-8 mengenai “Prevention of Crime and Treatment of Offenders” yang mengesahkan resolusi “Corruption in Goverment” di Havana tahun 1990 merumuskan tentang akibat korupsi, berupa:

  1. Korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of public official):
    1. Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah (“can destroy the potential effectiveeness of all types of govermental programmes”)
    2. Dapat menghambat pembangunan (“hinder development”).
    3. Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat (“victimize individuals and groups”).
  2. Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi dan pencucian uang haram.[3]

 

           Asumsi konteks tersebut di atas dapat ditarik suatu konklusi dasar tindak pidana korupsi bersifat sistemik, terorganisasi, transnasional dan multidimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yuridis, sosiologis, budaya, ekonomi antar negara dan lain sebagainya. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi bukan saja dapat dilihat dari perspektif hukum pidana, melainkan dapat dikaji dari dimensi lain, misalnya perspektif legal policy (law making policy dan law  enforcement policy),  Hak  Asasi  Manusia  (HAM) maupun  Hukum Administrasi Negara. Selintas, khusus dari perspektif Hukum Administrasi Negara ada korelasi erat antara tindak pidana korupsi dengan produk legislasi yang bersifat Administrative Penal Law. Melalui aspek sejarah kebijakan hukum pidana (criminal law policy) maka telah ada peraturan perundang-undangan di Indonesia selaku hukum positif (ius constitutum) yang mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi.[4] Dikaji dari perspektif yuridis, maka tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) sebagaimana dikemukakan Romli Atmasasmita, bahwa:

               “Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes). Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia.[5]

 

              Ketentuan hukum positif Indonesia tentang tindak pidana korupsi diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Pada UU tersebut maka ketentuan mengenai pembuktian perkara korupsi terdapat dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b, Pasal 37, Pasal 37 A dan Pasal 38B. Apabila dicermati maka UU tindak pidana korupsi mengklasifikasikan pembuktian menjadi 3 (tiga) sistem. Pertama, pembalikan beban pembuktian[6] dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembalikan beban pembuktian ini berlaku untuk tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a) dan terhadap harta benda yang belum didakwakan yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi (Pasal 38B). Apabila mengikuti polarisasi pemikiran pembentuk UU sebagai kebijakan legislasi, ada beberapa pembatasan yang ketat terhadap penerapan pembalikan beban pembuktian dikaitkan dengan hadiah yang wajar bagi pejabat. Pembatasan tersebut berorientasi kepada aspek hanya diterapkan kepada pemberian (gratifikasi) dalam delik suap, pemberian tersebut dalam jumlah Rp. 10.000.000,00 atau lebih, berhubungan dengan jabatannya (in zijn bediening) dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan  dengan kewajiban (in strijd met zijn plicht) dan harus melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua, pembalikan beban pembuktian yang bersifat semi terbalik atau berimbang terbalik dimana beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum secara berimbang terhadap obyek pembuktian yang berbeda secara berlawanan (Pasal 37A). Ketiga, sistem konvensional dimana pembuktian tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum. Aspek ini dilakukan terhadap tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah (Pasal 12B ayat (1) huruf b) dan tindak pidana korupsi pokok.

          Sistem Hukum Pidana Indonesia khususnya terhadap beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi secara normatif mengenal asas pembalikan beban pembuktian yang ditujukan terhadap kesalahan orang (Pasal 12 B ayat (1), Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001) dan kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi (Pasal 37A, Pasal 38 B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001). Secara kronologis pembalikan beban pembuktian bermula dari sistem pembuktian yang dikenal dari negara penganut rumpun Anglo-Saxon terbatas pada “certain cases” khususnya terhadap tindak pidana “gratification” atau pemberian yang berkorelasi dengan “bribery” (suap), misalnya seperti di United Kingdom  of  Great  Britain,  Republik  Singapura  dan  Malaysia. Di  United Kingdom of Great Britain atas dasar “Prevention of Corruption Act 1916” terdapat pengaturan apa yang dinamakan “Praduga korupsi untuk kasus-kasus tertentu” (Presumption of corruption in certain cases).

           Keluarnya UU Nomor 20 Tahun 2001 maka pembalikan beban pembuktian dikenal juga dalam rumpun hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia. Secara eksplisit ketentuan Pasal 12 B UU Nomor 20 Tahun 2001 selengkapnya berbunyi  sebagai berikut:             

  1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
    1. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ;
    2. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
  2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

           Eksistensi pembalikan beban pembuktian dari perspektif kebijakan legislasi  dikenal dalam tindak pidana korupsi  sebagai  ketentuan yang  bersifat “premium remidium” dan  sekaligus  mengandung  prevensi khusus. Tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crimes yang memerlukan extra ordinary enforcement dan extra ordinary measures maka aspek krusial dalam  kasus-kasus  tindak  pidana  korupsi adalah upaya pemenuhan beban pembuktian dalam proses yang dilakukan aparat penegak hukum. Dimensi ini diakui Oliver Stolpe bahwa:

             “One of the most difficult issues facing prosecutors in large-scale corruption cases is meeting the basic burden of proof when prosecuting offenders and seeking to recover proceeds.[7]

 

             Ditetapkannya pembalikan beban pembuktian maka menjadi beralih beban pembuktian (shifting of burden proof) dari Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa. Akan tetapi, walaupun pembalikan beban pembuktian dilarang terhadap kesalahan/perbuatan orang dan keseluruhan delik korupsi akan tetapi secara normatif diperbolehkan terhadap gratifikasi delik penyuapan dan perampasan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi. Dalam praktik hal ini telah diterapkan Pengadilan Tinggi Hongkong (Court of Appeal of Hong Kong) berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (1) Hong Kong Bill of Rights Ordinance 1991.[8] Apabila dikaji secara selayang pandang dimensi filosofis mengapa kebijakan legislasi menerapkan adanya eksistensi pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi disebabkan ada kesulitan dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia untuk melakukan pembuktian terhadap perampasan harta kekayaan pelaku (offender) apabila dilakukan dengan mempergunakan teori pembuktian negatif. Akibatnya, diperlukan ada aspek  yuridis  luar  biasa dan perangkat hukum  luar biasa pula berupa sistem pembalikan beban pembuktian sehingga tetap menjungjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence)[9] dengan tetap memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM), dan juga tetap memperlakukan sistem pembuktian beyond reasonable doubt.

            Pada hakikatnya, pembalikan beban pembuktian dalam perkara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia yang diatur dalam ketentuan Pasal 12B, 37 dan 37A, 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, menimbulkan problematika. Pertama, ketentuan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 salah susun karena keseluruhan delik tidak ada disisakan untuk pembalikan beban pembuktian. Kedua, ketentuan Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 senyatanya bukanlah pembalikan beban pembuktian oleh karena ketentuan tersebut semata-mata adalah hak sehingga ada tidaknya pasal itu tidak akan berpengaruh terhadap pembuktian yang dilakukan terdakwa. Krusial dapat dikatakan, walaupun norma Pasal 37 tidak dicantumkan dalam UU Tindak Pidana Korupsi terdakwa tetap melakukan pembelaan diri terhadap dakwaan yang dituduhkan kepada dirinya.  Berikutnya, apabila ketentuan Pasal 37 dimaksudkan pembentuk UU sebagai pembalikan beban pembuktian maka hal ini berhubungan dengan kesalahan (mens rea) yang bertitik tolak asas praduga bersalah dan asas mempersalahkan diri sendiri. Padahal dalam tindak pidana korupsi pokok selain gratifikasi haruslah mempergunakan asas praduga tidak bersalah dan kewajiban membuktikan tetap dibebankan kepada Jaksa Penuntut Umum. Ketiga, pembalikan beban pembuktian terhadap harta benda terdakwa yang belum didakwakan (Pasal 38B) hanya dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana pokok (Pasal 37A ayat (3)) dan tidak dapat dijatuhkan terhadap gratifikasi sesuai ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa khusus terhadap gratifikasi Pasal 12B ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 maka Jaksa Penuntut Umum tidak dapat melakukan perampasan harta pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Begitu juga sebaliknya terdakwa tidak dibebankan melakukan pembalikan beban pembuktian terhadap asal usul hartanya. Keempat, pasca berlakunya KAK 2003 maka pembalikan beban pembuktian ditujukan dalam konteks keperdataan (civil procedure) untuk mengembalikan harta pelaku yang diakibatkan dari perbuatan korupsi.

         

  1. POLITIK HUKUM KEBIJAKAN LEGISLASI PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN TERHADAP  KESALAHAN DAN HARTA KEKAYAAN PELAKU DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI INDONESIA

            Dikaji dari aspek kebijakan legislasi dalam UU pemberantasan tindak pidana korupsi Indonesia terhadap pembalikan beban pembuktian sampai dengan sebelum tahun 1960 tidak mengatur pembalikan beban pembuktian dalam peraturan perundang-undangan korupsi disebabkan perspektif kebijakan legislasi memandang perbuatan korupsi sebagai delik biasa sehingga penanggulangan korupsi cukup dilakukan secara konvensional dan tidak memerlukan perangkat hukum yang luar biasa (extra ordinary measures).

           Selanjutnya kebijakan legislasi pembalikan beban pembuktian mulai terdapat dalam UU Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 1960 menyebutkan, “Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh Jaksa”. Substansi pasal ini mewajibkan tersangka memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya apabila diminta oleh Jaksa. Konsekuensinya, tanpa ada permintaan dari Jaksa maka tersangka tidak mempunyai  kesempatan untuk memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya.

             Politik hukum[10] kebijakan legislasi dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 secara eksplisit telah mengatur pembalikan beban pembuktian. Ketentuan Pasal 17 UU Nomor 3 Tahun 1971, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

  1. Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi
  2. Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya diperkenankan dalam hal:
      1. apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara atau
      2. apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.
  3. Dalam hal terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan
  4. Apabila terdakwa tidak dapat memberi keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi

 

           Selanjutnya ketentuan Pasal 18 UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang kepemilikan harta benda pelaku selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

  1. Setiap terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/suami, anak dan setiap orang, serta badan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh hakim.
  2. Bila terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan disidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

    

            Politik hukum Indonesia mengenai pembalikan beban pembuktian juga tetap diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Ketentuan Pasal 37 berbunyi sebagai berikut:

  1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi
  2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

 

      Kemudian penjelasan otentik ketentuan Pasal 37 tersebut menentukan, bahwa:

               Ayat (1) Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan  pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination)

              Ayat (2) Ketentuan ini tidak menganut sistim pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk)

 

            Beberapa ketentuan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 masih terdapat kelemahan dan selanjutnya telah dilakukan perbaikan-perbaikan dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Perbaikan tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 12B, Pasal 37,  Pasal 37A dan Pasal 38B UU Nomor 20 Tahun 2001.

           Selain ketentuan tersebut maka pembalikan beban pembuktian juga diatur dalam ketentuan Pasal 37 UU Nomor 20 Tahun 2001 dan ketentuan Pasal 35[11] UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Politik hukum kebijakan legislasi mengenai pembalikan beban pembuktian juga diatur dalam ketentuan Pasal 38B ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi, bahwa: “Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi”. Pada hakikatnya ketentuan pasal ini merupakan pembalikan beban pembuktian yang dikhususkan pada perampasan harta benda yang diduga keras berasal dari tindak pidana korupsi. Akan tetapi, perampasan harta ini tidak berlaku bagi ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a UU Nomor 20 Tahun 2001, melainkan terhadap pelaku yang didakwa melakukan tindak pidana pokok.

              Pembalikan beban pembuktian sebagaimana dalam ketentuan UU Nomor 20 Tahun 2001 dapat dideskripsikan dikenal terhadap kesalahan orang (mens rea) yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37 UU 20 Tahun 2001. Kemudian terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku yang diduga keras merupakan hasil tindak pidana korupsi diatur dalam ketentuan Pasal 37A dan Pasal 38B ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2001. Tegasnya, politik hukum kebijakan legislasi terhadap delik korupsi ditujukan terhadap kesalahan pelaku maupun terhadap harta benda pelaku yang diduga berasal dari korupsi.

             Apabila dianalisis secara cermat maka politik hukum Indonesia mengenai kebijakan legislasi tentang pembalikan beban pembuktian khususnya terhadap ketentuan Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 mengundang poblematis atau bahkan dapat dikatakan sebagai kesalahan, ketidakjelasan dan ketidaksinkronan kebijakan legislasi dalam melakukan perumusan norma pembalikan beban pembuktian pada tindak pidana suap menerima gratifikasi dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana. Apabila dijabarkan tentang eksistensi ketidakjelasan dan ketidaksinkronan perumusan norma ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, 37A dan 38B UU Nomor 20 Tahun 2001 tersebut berorientasi kepada aspek-aspek sebagai berikut:

         Pertama, dikaji dari perumusan tindak pidana (materiele feit) maka ketentuan tersebut menimbulkan ketidakjelasan perumusan norma asas pembalikan beban pembuktian. Di satu sisi, asas pembalikan beban pembuktian akan diterapkan kepada penerima gratifikasi berdasarkan Pasal 12B ayat (1) huruf a yang berbunyi, “..yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi”, akan tetapi di sisi lainnya tidak mungkin diterapkan kepada penerima gratifikasi oleh karena ketentuan pasal tersebut secara tegas mencantumkan redaksional, “setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”, maka adanya perumusan semua unsur inti delik dicantumkan secara lengkap dan jelas dalam suatu pasal membawa implikasi yuridis adanya keharusan dan kewajiban Jaksa Penuntut Umum untuk  membuktikan perumusan delik dalam pasal yang bersangkutan. Tegasnya, ketentuan pasal tersebut adalah salah susun sehingga apa yang akan dibuktikan sebaliknya malah tidak ada.

              Kedua, terdapat pula kekeliruan perumusan norma ketentuan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sepanjang redaksional “..dianggap pemberian suap”. Apabila  suatu  gratifikasi  yang telah diterima oleh pegawai negeri  atau penyelenggara negara maka gratifikasi tersebut bukan dikategorisasikan “..dianggap pemberian suap” akan tetapi sudah termasuk tindakan “penyuapan”. Eksistensi asas pembalikan beban pembuktian sesuai norma hukum pidana ada bukan ditujukan kepada gratifikasi dengan redaksional “..dianggap pemberian suap” akan tetapi harus kepada dua unsur rumusan sebagai bagian inti delik berupa rumusan yang berhubungan dengan jabatannya (in zijn bediening) dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan  dengan kewajiban (in strijd met zijn plicht).

              Andi Hamzah menegaskan dimensi pembalikan beban pembuktian dengan redaksional sebagai berikut:

                     “Jadi, karena Penuntut Umum hanya berkewajiban untuk membuktikan satu bagian inti saja, yaitu adanya pemberian (gratification) itu, maka dua bagian inti berikutnya, yaitu adanya kaitan dengan jabatan pegawai negeri itu, kemudian dia melalaikan kewajibannya karena mendapat suap, kemudian dibebankan kepada tersangka/terdakwa. Jadi, ada pembalikan beban pembuktian terhadap dua bagian inti delik. Dia harus membuktikan bahwa tidak ada kaitan dengan jabatannya pemberian itu, kemudian dia melalaikan kewajibannya (sebagai pegawai negeri). Apabila dia tidak dapat membuktikan demikian, maka dia dianggap telah menerima suap atau telah melakukan kedua bagian inti delik itu.”[12]

 

             Konsekuensi logis adanya materiele feit yang dirumuskan sebagai bagian inti delik dalam suatu pasal peraturan perundang-undangan (setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, pemberian itu berkaitan dengan jabatan  dan pemberian itu berlawanan dengan kewajiban penerima) maka menjadi kewajiban imperatif Penuntut Umum untuk membuktikannya sehingga ketentuan Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 relatif tidak menganut asas pembalikan beban pembuktian. Eksplisit ketentuan pasal tersebut ada mengatur asas pembalikan beban pembuktian dalam ketentuan undang-undang akan tetapi praktiknya tidak dapat dilakukan. Aspek demikian dikarenakan ketentuan  tersebut  secara  eksplisit  telah  menentukan  adanya  pengaturan dalam satu pasal yaitu “setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”. Pengaturan adanya perumusan unsur bagian inti delik dicantumkan secara lengkap dan jelas maka kewajiban Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan ada penerimaan gratifikasi dari keseluruhan bagian inti delik bersangkutan. Tegasnya, asas pembalikan beban pembuktian ada dalam ketentuan undang-undang dan tiada dalam kebijakan aplikasinya.

              Ketiga, menurut Barda Nawawi Arief[13] maka “gratifikasi” dirumuskan sebagai unsur delik, yang pengertiannya dirumuskan dalam “penjelasan Pasal 12B ayat (1)” yaitu suatu “pemberian dalam arti luas”. Dilihat dari formulasinya, “gratifikasi” bukan merupakan jenis maupun kualifikasi delik dimana yang dijadikan delik (“perbuatan yang dapat dipidana” atau “tindak pidana”) menurut Pasal 12B ayat (2), bukan “gratifikasi”-nya, melainkan perbuatan “menerima gratifikasi” itu. Jadi,  Pasal  12B ayat  (1)  tidak  merumuskan  tindak  pidana gratifikasi, tetapi hanya memuat batasan pengertian dan jenis gratifikasi yang dianggap sebagai “pemberian suap”. Oleh karena itu, dengan perumusan Pasal 12 B ayat (2) maka tidak ada perbedaan ancaman pidana bagi penerima gratifikasi jenis pertama (senilai Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih) dan penerima gratifikasi jenis kedua (di bawah Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)).

            Jadi, tidak ada perbedaan substantif dan yang ada hanya perbedaan prosedural, yaitu untuk gratifikasi pertama, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu bukan suap) pada penerima, sedangkan untuk gratifikasi jenis kedua, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu merupakan suap), pada penuntut umum. Logika pembuat undang-undang dalam Pasal 12B ayat (2) untuk tidak membedakan ancaman pidana terhadap gratifikasi jenis ke-1 dan ke-2, tidak konsisten dengan logika yang tertuang dalam Pasal 12A yang membedakan ancaman pidana untuk tindak pidana korupsi dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12. Pada dasarnya, ketentuan pasal tersebut menentukan bahwa yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah), diancam pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun (tidak ada minimalnya) dan denda maksimal Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan tidak ada minimalnya serta yang nilainya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau lebih, berlaku ketentuan pidana dalam pasal yang bersangkutan (Pasal 5 sampai dengan Pasal 12) sehingga untuk tindak pidana korupsi ke-2 ini dapat dikenakan pidana minimal dalam pasal yang bersangkutan. Oleh karena itu, logika yang tidak konsisten itu, dikhawatirkan menimbulkan disparitas dan diskriminasi pemidanaan.

             Keempat, dikaji dari perspektif ketentuan sistem hukum pidana khusus dihubungkan dengan KAK 2003. Pada asasnya, pembalikan beban pembuktian sesuai ketentuan Pasal 31 ayat (8) dan Pasal 53 huruf b KAK 2003 lebih menekankan pada prosedur keperdataan dan pengembalian aset sebagai pendekatan bersifat restorative. Hakikatnya, dari dimensi ini maka pembalikan beban pembuktian tersebut dilarang terhadap kesalahan orang karena potensial akan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah sehingga menimbulkan pergeseran pembuktian menjadi asas praduga bersalah atau asas praduga korupsi. Selain itu bersimpangan dengan ketentuan Hukum Acara Pidana yang mensyaratkan terdakwa tidak dibebankan kewajiban pembuktian sebagaimana ketentuan  Pasal 66 KUHAP, Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf (i) Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, Pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 40 ayat (2b) butir (i) Konvensi tentang Hak-Hak Anak, Prinsip 36 ayat (1) kumpulan prinsip-prinsip untuk perlindungan semua orang dalam bentuk penahanan apapun atau pemenjaraan, Resolusi Majelis Umum PBB 43/1739 Desember 1988 dan Konvensi Internasional serta asas legalitas.

             Kelima, secara normatif ketentuan Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan sebagai pembalikan beban pembuktian. Akan tetapi, dari perspektif praktik dan sebagai suatu hak maka ketentuan Pasal 37 ayat (1) tidak mempunyai pengaruh terhadap ada atau tidaknya pasal tersebut dicantumkan. Hal ini terlihat jelas apabila dihubungkan dengan sistem akusator yang dianut dalam KUHAP, dimana hak tersebut merupakan hak elementer dari pelaku yang berstatus tersangka atau terdakwa. Begitu juga halnya dengan ketentuan Pasal 38B UU Nomor 20 Tahun 2001. Pembalikan beban pembuktikan terhadap harta kekayaan hanya dapat dilakukan terhadap pembuktian perkara pokok sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 sesuai ketentuan Pasal 38B ayat (1). Analisis ketentuan pasal ini maka pembalikan beban pembuktian terhadap harta benda pelaku yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi tidak berhubungan dengan ketentuan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Krusial ketentuan pasal ini menentukan bahwa gratifikasi delik suap tersebut maka jaksa penuntut umum tidak dapat melakukan perampasan harta benda untuk negara dan begitupun sebaliknya terdakwa tidak diharuskan melakukan pembalikan beban pembuktian terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.

               Konklusi dasar dari apa yang telah diuraikan konteks di atas maka politik hukum mengenai kebijakan legislasi Indonesia tentang pembalikan beban pembuktian dalam ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37A dan Pasal 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 ditemukan adanya ketidakjelasan perumusan norma, ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan antara ketentuan pasal bersangkutan sehingga perlu dicarikan sebuah formulasi tentang pembalikan beban pembuktian yang relatif lebih sesuai dengan kondisi Indonesia dengan tetap mengacu kepada ketentuan asas hukum pidana, hukum acara pidana maupun instrumen hukum internasional pasca Ratifikasi KAK 2003 sebagaimana diratifikasi Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 2006.

                 Selain politik hukum terhadap kesalahan orang (mens rea) maka juga dikenal adanya pembalikan beban pembuktian terhadap harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia. Ada beberapa keuntungan yang akan diperoleh oleh Indonesia dengan pembalikan beban pembuktian terhadap harta kekayaan pelaku dan kemudian dapat dilakukan perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi. Alasannya, pertama aset pelaku tindak pidana korupsi akan berguna banyak untuk pembangunan Indonesia pada umumnya dan untuk kesejahteraan masyarakat pada khususnya. Akibat tindak pidana korupsi maka mengakibatkan banyak masyarakat Indonesia tidak dapat menikmati hak-haknya dan bahkan mengakibatkan bagian terbesar masyarakat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Kedua, dengan adanya perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi ditinjau dari segi yuridis akan menempatkan pemerintah dimata warga negara bahwa telah melaksanakan penegakan hukum dan menjunjung tinggi supremasi hukum (supremacy of law) dan semua warga negara diperlakukan sama di depan hukum (equality of law) dimana tindak pidana korupsi lazimnya dilakukan oleh orang yang mempunyai jabatan, sehingga masyarakat akan menilai bahwa pejabat dan masyarakat biasapun tak kebal hukum dan diperlakukan sama di depan hukum. Ketiga, adanya KAK 2003 mengakibatkan proses perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi dapat dilakukan dengan pelbagai cara dan prosedur sehingga akan membawa dampak positif dimana harta pelaku tindak pidana korupsi relatif dapat dikembalikan oleh pemerintah.

            Dalam ketentuan hukum positif Indonesia sebagai ius constitutum/ius operaturum yaitu UU Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui melalui ketentuan UU Nomor 20 Tahun 2001 terdapat mengenai kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan kepemilikan aset  kekayaan  pelaku  tindak  pidana korupsi.  Pada dasarnya kebijakan hukum pidana tersebut yang diaplikasikan pada kebijakan formulatif menentukan bahwa pengaturan kepemilikan aset pelaku tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui jalur hukum perdata yaitu melalui gugatan secara perdata (civil procedure). Adapun ketentuan tersebut beroriensi kepada ketentuan Pasal 32,[14] Pasal 33[15] dan Pasal 34[16] serta Pasal 38C[17] UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 melalui gugatan perdata serta ketentuan Pasal 38 ayat (5),[18] Pasal 38 ayat (6)[19] dan Pasal 38B ayat (2)[20] dengan jalur pidana melalui proses penyitaan dan perampasan. Ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas memberikan kewenangan kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya baik ditingkat penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

           Sebelum ini, maka dalam sejarah perkembangan peraturan korupsi pernah diatur mengenai perampasan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi, yaitu Pasal 14[21] Prt/Pm-08/1957 tentang Penilikan Harta Benda, Pasal 2[22] Prt/PM-011/1957 tanggal 1 Juli 1957, Pasal 12 ayat (1)[23] dan ayat (3)[24], Pasal 33 ayat (1)[25], Pasal 40 ayat (2)[26] dan ayat (3)[27] Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darta Nomor: Prt/Peperpu/013/95 tanggal 16 April 1958 tentang Pengusutan, penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi dan Penilikan Harta Benda, Pasal 16 ayat (2)[28] dan ayat (3)[29]   UU Nomor   24 Prp 1960, Pasal 2 ayat (1)[30] dan Pasal 2 ayat (6)[31] Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1947 jo Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1948 tentang Mengurus Barang-Barang yang Dirampas dan Barang Bukti dan Pasal 4,[32] Pasal 34 huruf a,[33] dan huruf b,[34] Pasal 35 ayat (1)[35] UU Nomor 3 Tahun 1971.

           Selain itu, pasca KAK 2003 maka perampasan aset pelaku kekayaan tindak pidana korupsi juga diatur. Pada mukadimah KAK 2003 para 8 ditentukan, bahwa:

          “Bertekad untuk mencegah, melacak dan menghalangi dengan cara yang lebih efektif transfer-transfer internasional atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah, dan untuk memperkuat kerjasama internasional dalam pengembalian aset.” 

   

           Apabila dianalisis ternyata ketentuan Paragraf 8 KAK 2003 berhubungan mukadimah paragraf 3 KAK 2003 tentang keterkaitan antara perbuatan korupsi dengan pembangunan berkelanjutan. Ketentuan Paragraf 3 KAK 2003 secara tegas menentukan bahwa:

            “Prihatin atas keserikusan masalah-masalah dan ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, yang melemahkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum”.

  

           Pada KAK 2003 maka perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui jalur pidana dan jalur perdata. Proses perampasan aset kekayaan pelaku melalui jalur pidana melalui 4 (empat) tahapan, yaitu: pertama, pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi, bukti kepemilikan, lokasi penyimpanan harta yang berhubungan delik yang dilakukan. Kedua, pembekuan atau perampasan aset sesuai Bab I Pasal 2 huruf f KAK 2003 dimana dilarang sementara menstransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memidahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten. Ketiga, penyitaan aset sesuai Bab I Pasal 2 huruf g KAK 2003 diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten. Keempat, pengembalian dan penyerahan aset kepada negara korban. Selanjutnya, pada KAK 2003 maka perampasan harta pelaku tindak pidana korupsi dapat melalui pengembalian secara langsung melalui proses pengadilan yang dilandaskan kepada sistem “negatiation plea” atau “plea bargaining system”, dan melalui pengembalian secara tidak langsung yaitu melalui proses penyitaan berdasarkan keputusan pengadilan (Pasal 53 s/d Pasal 57 KAK 2003).

C. REKAPITULASI

             Politik hukum kebijakan legislasi dalam peraturan tindak pidana korupsi Indonesia khususnya ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37A dan Pasal 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 terhadap kesalahan pelaku (mens rea) tindak pidana korupsi terdapat kesalahan, ketidakjelasan dan ketidakharmonisan perumusan norma pembalikan beban pembuktian. Ketentuan Pasal 12B dari perspektif perumusan unsur delik dicantumkan secara lengkap dan jelas (materiele feit) dalam satu pasal sehingga membawa implikasi yuridis Jaksa Penuntut Umum imperatif membuktikan perumusan delik tersebut dan konsekuensinya pasal tersebut salah susun, karena seluruh bagian inti delik disebut sehingga yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya malah tidak ada. Kemudian ketentuan Pasal 37 senyatanya bukanlah pembalikan beban pembuktian karena dicantumkan ataukah tidak norma pasal tersebut tidak akan berpengaruh bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan terhadap dakwaan menurut sistem accusatoir yang dianut Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Ketentuan Pasal 38B hanya ditujukan terhadap pembalikan beban pembuktian untuk harta benda yang belum didakwakan dan hanya dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana pokok (Pasal 37A ayat (3)) dan tidak dapat dijatuhkan terhadap gratifikasi sesuai ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Oleh karena itu, khusus terhadap gratifikasi Jaksa Penuntut Umum tidak dapat melakukan perampasan harta pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, begitupun sebaliknya terdakwa tidak dapat dibebankan melakukan pembalikan beban pembuktian terhadap asal usul hartanya. Pasca berlakunya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) sebagaimana diratifikasi Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 diperlukan suatu modifikasi perumusan norma pembalikan beban pembuktian yang bersifat preventif, represif dan restorative. Kemudian terhadap politik hukum terhadap harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi  yang kemudian dilakukan perampasan aset telah dikenal sejak diberlakukan Peraturan Perang Pusat (Pasal 14 Prt/Pm-08/1957 tentang Penilikan Harta Benda, Pasal 2 Prt/PM-011/1957 tanggal 1 Juli 1957, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (1), Pasal 40 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darta Nomor: Prt/Peperpu/013/95 tanggal 16 April 1958 tentang Pengusutan, penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi dan Penilikan Harta Benda) hingga UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 serta KAK 2003 yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 7 Tahun 2006***

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abidin, Andi Zainal., Hukum Pidana I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1995

Adji, Indriyanto Seno, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Penerbit Kantor Pengacara dan Konsultasi Hukum “Prof Oemar Seno Adji, SH & Rekan”, Jakarta, 2006

------------------------, ”Kendala Administrative Penal Law Sebagai Tindak Pidana Korupsi & Pencucian Uang”, Paper, Jakarta, 2007

Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007

Atmasasmita, Romli, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 1982

-----------------------, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia, Penerbit Badan Pembinaaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002

Bemmelen, J.M. van,  Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1979

Friedman, Lawrence M. dan Steward Macaulay (ed), Law and the Behavioral Sciences, The boobs Merrill Company, Indianapolis, 1969

--------------, American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984

Hamzah, Andi, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2004

--------------------, Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, Penerbit Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisaksi, Jakarta, 2002

Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Russell and Russell, New York, 1973

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbit Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2002

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori Dan Praktik Peradilan Indonesia, Penerbit PT.Djambatan, Jakarta, 2008,

--------------------, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis Dan Praktik, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2008

--------------------, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Penerbit Alumni, Bandung, 2007

-------------------, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikaran Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Disertasi, Program Pascasarjana Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 2007

-------------------, Tindak Pidana Korupsi Normatif, Teoretis, Praktik Dan Masalahnya, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2007

Remmelink, Jan, Hukum pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003

Rukmini, Mien,  Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), Penerbit PT Alumni, Bandung, 2006

Saleh, Roeslan,  Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional, Penerbit Karya Dunia Fikir, Jakarta, 1996

Sampford, Charles, The Disorder of Law: A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell Inc, New York, 1989

 

 

 

 


[1]           Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka, Malang, Penulis Buku Ilmu Hukum dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur dengan spesialisasi Hakim Umum, Hakim Niaga dan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial. Email: lilikmulyadi@yahoo.com

[2]           Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori Dan Praktik Peradilan Indonesia, Penerbit PT. Djambatan, Jakarta, 2008, hlm.1 dan: Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis Dan Praktik, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2008, hlm. 1, Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Disertasi, Program Pascasarjana Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 2007, hlm. 1 

[3]              Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 69 dan vide pula: Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 148

[4]             Hukum Positif (ius constitutum) yang mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi antara lain berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kemudian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan  Pemerintah  (PP)  Nomor  71  Tahun  2000,  Keppres Nomor 11 Tahun 2005,  Inppres Nomor 5 Tahun 2004 dan lain sebagainya.

[5]            Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002, hlm. 25 dan vide pula: Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), Penerbit PT Alumni, Bandung, 2006, hlm. 111

[6]            Ada beberapa terminologi untuk menyebutkan asas pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik (Indonesia) yaitu Shifting of burden of proof atau Reversal burden of proof (Inggris), Omkering van de bewijslast (Belanda), dan Onus of Proof (Latin) 

[7]            Oliver Stolpe,  Meeting the burden of proof in corruption-related legal proceedings, unpublished, hlm. 1

[8]           Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Hong Kong Nomor 52 Tahun 1995 tanggal 3 April 1995  antara Attorney-General of Hong Kong v Hui Kin Hong menyatakan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf  a Ordonansi Pencegahan Penyuapan Bab 201 (Section 10 of the Prevention of Bribery Ordinance of Hong Kong) meletakkan beban pembuktian kepada terdakwa Hui Kin Hong tidak melakukan korupsi. PT Hong Kong berpendapat sebelum terdakwa dipanggil membuktikan asal usul kekayaan yang jauh melebihi penghasilannya maka penuntut umum harus membuktikan terlebih dahulu secara “beyond reasonable doubt”, tentang status Hui Kin Hong sebagai pembantu ratu tersebut, standart hidup bersangkutan selama penuntutan dan total penghasilan resmi yang diterima selama itu, dan juga harus dapat membuktikan bahwa kehidupan yang bersangkutan tidak dapat dijangkau oleh penghasilannya itu. Apabila penuntut umum dapat membuktikan seluruhnya, maka kewajiban terdakwa menjelaskan bagaimana dapat hidup mampu dengan kekayaan yang ada, atau bagaimana kekayaannya tersebut berada di bawah kekuasaannya untuk mendapatkan ketidakwajaran sumber keuangan tersebut. Apabila pembuktian tersebut telah dilakukan maka PT Hong Kong harus memutuskan apakah hal-hal tersebut dapat diperhitungkan sebagai standart hidup yang berlebihan atau sebagai sumber keuangan yang tidak sepadan dengan harta bendanya. PT Hong Kong berpendapat proses acara itu tidak bertentangan Pasal 11 ayat (1) UU HAM Hong Kong (Articel 11Hong Kong Bill of Rights Ordinance Nomor 59 Tahun 1991) karena terdakwa sudah diberikan haknya untuk menjelaskan tentang asal usul kepemilikan harta kekayaannya dan juga penuntut umum sudah diwajibkan untuk membuktikan hal-hal tersebut, sistem pembuktian seperti ini, disebut sistem “balance probabilities”.

[9]                   Asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence (Inggris), presumption de innocence (Perancis), presumptie van onschuldig (Belanda) diatur ketentuan Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 2004, Penjelasan Umum angka 3 huruf c KUHAP, Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999. Dalam Bab XA UUD 1945 beserta Perubahannya tidak mencantumkan secara tegas asas ini seperti ketentuan Pasal 14 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 yang berbunyi, “Setiap orang yang dituntut karena  disangka melakukan sesuatu peristiwa pidana berhak dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya dalam suatu sidang pengadilan, menurut aturan-aturan hukum yang berlaku dan ia dalam sidang itu diberikan segala jaminan yang telah ditentukan dan yang perlu untuk pembelaan.” Pasal 14 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (ICCPR) menyebutkan, “Everyone charged with a criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”. Pasal 6 ayat (2) Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, Pasal 40 ayat (2) huruf (b) (i) Convention on the Rights of the Child, Pasal 75 ayat (2) huruf (d) Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protections of Victims of International Armed Conflict, Pasal 17 ayat (2) huruf (c) (i) African Charter on the Rights and Welfare of the Child, Pasal 8 ayat (2) American Convention of Human Rights, Pasal XXVI American Declaration of the Rights and Duties of Man, dan Pasal 39 Magna Carta 1215. Eksistensi asas ini dari perspektif sejarah sudah dikenal sejak tahun 1010 dalam dekrit Bishop (Pendeta) Burchard van Worm, Bagian XVI-C6, kemudian dekrit Paus Hadrianus menyebutkan, “Tidak seorangpun dari pihak yang berperkara dapat dituduh sebagai orang yang merugikan, sebelum terlebih dahulu ada pemeriksaan yang membuktikannya bersalah, berdasarkan pengakuannya dan pernyataan para saksi yang cukup kuat untuk membuktikan kesalahannya, sehingga dihasilkan keputusan yang tetap yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah.”

 

 

[10]           Pengertian politik hukum dapat dikaji dari perspektif etimologis maupun dari perspektif terminologis. Dari perspektif terminologis menurut Padmo Wahjono, politik hukum adalah kebijakan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri. (Padmo Wahjono, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan, Majalah Forum Keadilan, Nomor 29, April 1991, hlm. 65). Teuku Mohammad Radhie menyebutkan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. (Teuku Mohommad Radhie, Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, Jurnal Prisma Nomor 6 Tahun II, Desember 1973, hlm. 4). Soedarto menyebutkan politik hukum adalah kebijakan dari Negara melalui badan-badan Negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencari apa yang dicita-citakan. (Soedarto, Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum, Majalah Hukum dan Keadilan, Nomor 5 Tahun VII, Januari-Februari 1979, hlm. 15-17) dan Satjipto Rahardjo mendifinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. (Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum …, Op. Cit., hlm. 352).

[11]            Pasal 35 UU Nomor 25 Tahun 2003 menentukan: “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.”

[12]          Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, Penerbit Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisaksi, Jakarta, 2002, hlm. 113

[13]            Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum..., Op.Cit., hlm. 107-113

[14]            Pasal 32 ayat (1) menentukan: “Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.” Ayat (2) menentukan: “Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapus hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.”

[15]           Pasal 33 menentukan: “Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”

[16]           Pasal 34 menentukan: “Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”

[17]           Pasal 38 C menentukan: “Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud Pasal 38C ayat (2) maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.”

[18]            Pasal 38 ayat (5) menentukan: “Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.”

[19]            Pasal 38 ayat (6) menentukan: “Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam  ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding.”

[20]           Pasal 38B ayat (2) menentukan: “Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.”

[21]           Pasal ini menentukan bahwa Penguasa Militer berwenang untuk mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan di dalam daerahnya yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan dimungkinkan adanya penyitaan.

[22]          Ketentuan Pasal ini memberikan kewenangan kepada Penguasa Militer untuk menyita dan merampas barang-barang (sebagaimana dimaksud Prt/PM-08/1957) menjadi milik negara

[23]          Penilik harta benada dapat menyita harta benda seseorang atau suatu badan apabila ia setelah mengadakan penyelidikan yang seksama berdasarkan ketentuan tertentu dan bukti-bukti lainnya memperoleh dugaan yang kuat, bahwa harta benda itu termasuk salah satu rumusan termaksud dalam ayat 2

[24]         Penilik harta benda berhak juga menyita atau menuntut penyerahan untuk disita semua barang yang dapat dipergfunakan untuk mendapat keterangan tentang harta benda seseorang atau sesuatu badan hukum.

[25]         Jika seseorang dalam waktu 6 bulan setelah berlakunya Peraturan Penguasa Perang Pusat ini dengan sukarela melaporkan kepada instansi yang berwajib, perbuatan korupsi yang telah dilakukansebelum diadakan Peraturan Penguasa Perang Pusat ini dengan disertai keterangan-keterangan atau bukti-bukti yang lengkap, maka perbuatan itu tidak akan dituntut, asal harta benda yang diperoleh dengan/atau karena perbuatan tersebut diserahkan kepada Negara.

[26]        Segala harta benda yang diperoleh dari korupsi itu dirampas

[27]        Si terhukum dapat juga diwajibkan membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang dipertoleh dari korupsi

[28]        Ketentuan ini menentukan bahwa segala harta benda yang diperoleh dari korupsi itu dirampas

[29]        Dalam ayat ini ditentukan bahwa si terhukum dapat juga diwajibkan membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta yang diperoleh dari korupsi

[30]           Ketentuan ini menetapkan bahwa barang-barang yang dirampas atas kekuatan putusan pengadilan harus dijual oleh kepala atau pemimpin kejaksaan pada pengadilan yang melakukan peradilan tingkat pertama, kecuali jika menurut peraturan barang-barang itu tidak boleh dijual atau kepala kejaksaan tersebut di atas memberi ketentuan lain.

[31]           Ketentuan ini menetapkan bahwa terhadap barang yang dirampas atas kekuatan keputusan pengadilan, kepolisian atau pengadilan yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman, kewajiban pada pasal ini dijalankan oleh panitera dengan diketahui oleh ketua pengadilan

[32]           Dalam pasal ini ditentukan bahwa pengembalian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidannya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

[33]            Ketentuan ini menetapkan bahwa perampasan barang-barang tetap maupun tidak tetap, yang berwujud atau tidak berwujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan tindak pidana korupsi itu, begitu pula dengan harta lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan.

[34]           Ketentuan ini menetapkan bahwa perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap, yang berujud maupuin tak berujud, yang termasuk perusahaan terhukum, dimana tindak pidana korupsi itu dilakukan begitu pula dengan harga lawan barang-barang yang menggantukan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan, akan tetapi tindak pidananya bersangkutan dengan barang-barang yang dapat dirampas menurut tersebut sub a pasal ini.

[35]            Ketentuan ini menetapkan bahwa perampasan barang-barang bukan kepunyaan si terhukum tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu