Sabtu, 28 Maret 2009

KAJIAN DESKRIPTIF ANALISIS TENTANG HAKIKAT ILMU HUKUM

1
KAJIAN DESKRIPTIF ANALISIS TENTANG HAKIKAT ILMU HUKUM
DIKAJI DARI ASPEK ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AXIOLOGI
ILMU
Oleh: Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.1
1. Pendahuluan
Apabila dikaji secara intern, detail dan terperinci maka ilmu hukum merupakan salah satu dari suatu bidang hukum. Tegasnya, jikalau dijabarkan lebih jauh pada hakiatnya ilmu hukum tidaklah identik denganhukum oleh karena untuk menjadi hukum bukan harus selalu lahir dari proses pengembangan ilmu hukum. Dengan lain perkataan yang sederhana dapatlah diasumsikan bahwa setiap ilmu hukum itu akan berubah menjadi hukum apabila melalui proses keadilan masyarakat.
Dalam perkembangannya, apabila ditinjau dari optik konsep ilmu maka secara konseptual ilmu hukum identik dengan ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi jikalau konsep ilmu dalam ilmu hukum dipandang sebagai konsep yang khas dan berbeda dengan konsep umum pada ilmu-ilmu alammaka ilmu hukum menjadi suatu ilmu yang khas dan khusus oleh karenapenerapan metode ilmu-ilmu alam dalam ilmu hukum menjadikan ilmu hukum dapat diklasifikasikan ke dalam ilmu sosial. Selain dari aspek tersebut dalam bangun yang lain maka kerap kali ilmu hukum dikategorikanke dalam ilmu humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Aspek ini terjadi oleh karena ilmu hukum bersifat manusiawi dimana sifat kemanusiaan dari ilmu hukum terlihat dari metode penemuan hukum. Tegasnya, sifat konkrit dan individual mengakibatkan metode penemuan hukum mengarah pada manusia. Apabila ditelusuri mengenai latar belakang penempatan ilmu hukum ke dalam humaniora oleh karena dari aspek ini ilmu hukum tidak lepas dan berkolerasi dari agama. Menurut pandangan yahudi misalnya, Taurat dianggap sebagai hukum. Begitu pula halnya dalam agama Islam maka Al-qur’an adalah salah satu sumber hukum. Dengan demikian maka pemahaman terhadap kitab suci sebagai sumber hukum dilakukan suatu penafsiran. Maka oleh karena itu sejak timbulnya negara bangsa, menimbulkan peraturan di mana dalam ilmu hukum metode penafsiran tetap dipergunakan seperti dalam hukum yang berdasarkan agama.
Dengan titik tolak demikian akan menimbulkan pertanyaan fundamental yakni apakah ilmu hukum dapat dikategorikan sebagai ilmu ataukah tidak? Terhadap aspek ini dapat dilihat dari 2 (dua) titik pandang.
Pertama, di satu pihak menurut aliran positivistik maka ilmua hukum harus dipisahkan hubungan antara hukum dengan moral sehingga ilmu hukum itu bukanlah ilmu oleh karena hanya sosiologi hukum empirik dan teori hukum empirik dalam arti sempit sebagai ilmu. Sedangkan yang lainnya ternmasuk keahlian hukum terdidik (rechtsgeleerdheid) . Kedua, di lain pihak menurut aliran normatif maka hendaknya dipisahkan antara korelasi hukum dan moral sehingga tiap teori hukum dalam arti luas dapat menjadi ilmu. Aspek ini lebih rinci dan lugas ditegaskan oleh J.J.H. Bruiggink dengan redaksional sebagai berikut: “Hanya sosiologi hukum empirik dan teori hukum empirik dalam arti sempit yang dapat disebut ilmu berdasarkan kretarium positivistik. Kegiatan sosiologi hukum kontemplatif, dogmatika hukum (atau ilmu hukum dalam arti sempit). Teori hukum kontemplatif dalam arti sempit dan filsafat hukum harus dipandang sebagai bukan ilmu hukum, melainkan sebagai “rechtsgeleerdheid” (Keahlian hukum terdidik atau kemahiran hukum terdidik), setidak-tidaknya demikian menurut pandangan positvistik. Menurut pandangan normatif, tiap teori hukum (dalam arti luas) dapat memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan bagi ilmu, sehingga tiap cabang teori hukum (dalam arti luas) dapat menyandang gelar “ilmu”.2 Dengan mengacu kepada aliran normatif maka ilmu hukum dapat diklasifikasikan sebagai ilmu. Oleh karena ilmu hukum adalah dalam ruang lingkup ilmu maka dalam perkembangan ternyata timbul 2 (dua) kecenderungan ilmu hukum, yaitu:
a. Kecenderungan pertama ilmu hukum ternyata terbagi dalam bidang yang seolah-olah berdiri sendiri-sendiri seperti adanya pembidangan Ilmu Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Perdata, dan lain-lain. Konsekuensi pembagian yang demikian mempunyai kecenderungan seolah-olah masing-masing berdiri sendiri. Dengan demikian kecenderungan ini membentuk ilmu hokum ke dalam ilmu yang bersifat normatif, empiris dan sosiologi. Lazimnya dengan dimensi demikian ini membawa pengaruh terkadang para penganut ketiga bidang ilmu hukum tersebut saling menafikan antara satu dengan lainnya.
b. Kecenderungan kedua menimbulkan prediksi ternyata ilmu hukum menumpang pada bidang ilmu lain sehingga menimbulkan wajah dimana ilmu hukum merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri dan unik. Aspek ini nampak terlihat ada pandangan yang menganalogikan ilmu hukum dengan sosiologi hukum dan antropologi hukum. Oleh karena itu, secara konkret dengan kecenderungan demikian mengakibatkan Ilmu Hukum menjadi disintegrasi. Padahal pada dewasa ini seharusnya ilmu hukum harus bersifat Integratif adalah suatu kebutuhan yang nampaknya merupakan keharusan ditinjau dari aspek ontologis, 2 epistemologis dan axiologis, Anasir ini parallel dengan pendapat Sugijanto Darmadi bahwa: “Adanya ilmu hukum yang bersifat integratif merupakan suatu kebutuhan. Kita dapat melihat adanya kelemahan dalam metode normatif, metode empiris maupun metode filosofi. Kita juga dapat melihat adanya kelemahan antara ilmu hukum yang murni teoritis semata-mata atau ilmu hokum yang terapan semata-mata. Jadi adanya kecenderungan tersebut mengakibatkan aanya disintegrasi dalam ilmu hukum secara ontologis, epistemologis mapun axiologis”.3 Oleh karena ilmu hukum hendaknya bersifat integratif maka dari aspek ontologi, ilmu hukum pada hakikatnya akan menjawab apakah titik tolak kajian subtansial dari ilmu hukum. Sedangkan dari aspek epistemologi ilmu hukum akan menjawab bagaimana mendapatkan kebenaran dengan melalui metode ilmu hukum dan axiologi akhirnya akan menjawab kegunaan dari ilmu hukum itu sendiri. Maka dengan latar belakang demikian dan kolerasi antara ontologi, epistemologi dan axiologi tersebut artikel ini akan mengkaji lebih intens, detail dan terperinci bagaimana ilmu hukum dikaji dari aspek ontologi ilmu, epistemologi ilmu dan dikaji dari aspek axiologi ilmu.

II. Pembahasan Ilmu Hukum Dikaji Dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan Axiologi Ilmu.

1. Dari Aspek Ontologi Ilmu
Pada dasarnya, menurut Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab bebrapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti : “obyek apa yang ditelaah ilmu ? bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut ? bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan ?4 Konkritnya, bidang telaah sebagaimana konteks diatas merupakan bidang Ontologi Ilmu. Apabila konteks tersebut dapat dikorelasikan dengan Ilmu Hukum maka bidang Ontologi Ilmu Hukum pada hakikatnya akan menjawab pertanyaan apakah titik tolak kajian substansial dari Ilmu Hukum.

Sebagaimana diketahui bersama bahwasanya menurut pandangan doktrina seperti E. Ultercht, Van Apeldoorn, Prof. Van Kant, Kusunadi Pudjosewoyo dan lain-lain maka pada dasarnya Hukum merupakan sebuah aturan yang harus ditaati oleh anggota masyarakat dan pelanggaran terhadapnya akan mendapat sanksi. Oleh karena itu, menurut Penulis dengan titik tolak teoritik sebagaimana pandangan doktrina dan aspek praktek pada dunia peradilan maka secara Universal ada 3 (tiga) aspek yang dipelajari dari Ilmu Hukum, yaitu :
a). Nilai-nilai hukum seperti ketertiban, keadilan, kepastian hukum dan lain-lain.
Apabila aspek ini dijabarkan secara singkat dapatlah diasumsikan bahwa “ nilai-nilai hukum “ ini merupakan bidang kajian Filsafat Hukum yang abstrak/teoritis.
b). Kaidah-kaidah hukum berupa kaidah tertulis ataupun tidak tertulis, kaidah bersifat abstrak maupun konkret. Pada dasar “ kaidah-kaidah hukum “ ini dikaji oleh bidang yang disebut ilmu tentang kaidah (Normwissenschaft).
c). Perilaku hukum atau kenyataan/peristiwa hukum.
Singkatnya, konteks ini dikaji oleh Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Logika Hukum, Psikologi Hukum dan Sejarah Hukum yang menjembatani aspek abstrak/teoritis seperti : Rechts Filosofie, Rechts theorie dan Rechts Dogmatiek dengan aspek imperis/nyata yang merupakan kajian Recht en Rechtspratijkheid.
Dengan 3 (tiga) bidang dari Ilmu Hukum tersebut menimbulkan pertanyaan tentang apakah titik tolak kajian substansial dari Ilmu Hukum melalui Optik Ontologi Ilmu.

Ternyata dari Optik Ontologi maka kajian substansial Ilmu Hukum terletak pada “Kaidah-kaidah Hukum“. Tegasnya, Ilmu Hukum tidak mungkin dapat dipisahkan dari kaidah Hukum. Tetapi dalam korelasi demikian ini persoalannya timbul dalam posisi dan situasi kaidah hukum yang bagaimana menjadi perhatian dari Ilmu Hukum. Seperti diuraikan konteks diatas maka Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum mempelajari perilaku hukum sebagai kenyataan hukum (Taatschachen Wissenchaft). Kedua bidang Ilmu Hukum ini yaitu sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum tidak dapat melepaskan diri dari adanya kriteria bahwa perilaku atau kenyataan itu bersifat normative. Ciri kaidah hukum nampak dengan adanya legitimasi dan sanksi. Pada dasarnya legitimasi menjadikan bahwa suatu hal yang akan menjadi kaidah itu disahkan oleh kewibawaan tertentu sedangkan sanksi menjadikan suatu hal yang akan menjadi kaidah hukum itu bila dilanggar menimbulkan adanya sanksi. Tanpa terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang kajian, Ilmu Hukum dengan senirinya sudah mengkaji nilai, kaidah dan perilaku. Sedangkan perbedaan antara satu kajian dengan kajianlainnya adalah kadar, intensitas atau derajat diantara ketiga hal itu. Acapkali yang dipentingkan adalah bidang perilaku, terhadap nilai atau kaidahseperti Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum misalnya lebih menekankan pengkajian perilaku hukum. Akan tetapi yang perlu menjadi titik tolak bidang kajian Ilmu Hukum adalah Kaidah Hukum yang berhubungan dengan nilai dan perilaku. Kaidah Hukum dapat ditentukan
dalam dunia nyata sebagai hukum yang hidup berupa perilaku hukum dan terbentuk karena interaksi sesama manusia sehingga kaidah hukum menjadi fakta empiris. Pada dasarnya, menurut J.J.H. Bruggink5 perintah perilaku, yang mewujudkan isi kaidah itu dapat menampilkan diri dalam berbagai wajah/sosok. Penggolongan yang paling umum adalah :

a. Perintah (Gebod) adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu ;
b. Larangan (Verbod) adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu ;
c. Pembebasan (Vrijstelling, dispensasi) adalah pembolehan (Verlof) khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan ; dan
d. Izin (toestemming, permisi) adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.
Selain dari spek tersebut diatas maka kaidah hukum dapat juga ditentukan dalam hukum yang tercatat/terdokumentasikan seperti : hasilhasil penelitian Hukum adat, penilaian ahli hukum, pandangan doktrinatentang hukum, pandangan filosofi seorang filsuf dan lain sebagainya. Begitu pula kaidah hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis seperti : UU, Yurisprudensi, Keputusn Pemerintah Pusat/Daerah dan lain sebagainya. Kaidah hukum dapat pula ditemukan dalam kitab-kitab suci, ada kemungkinan hukum yang tercatat/tertulis berasal dari kenyataan hukum, tetapi pembentukannya bersifat rasional. Pembentuknya (seperti DPR/D, Kepala daerah, dan lain-lain) mempunyai kepentingan tertentu atau mempunyai pandangan tertentu yang cukup berperanan dalam terbentuknya hukum tersebut. Adanya kepentingan/pandangan tertentu turut dipertimbangkan mengakibatkan fakta empiris akan menjadai hukum setelah diolah secara rasional. Dalam pembentukan hukum yang terbentuk tidak berasal semata-mata dari kebiasaan tetapi timbul berdasarkan suatu pertimbangan dari pihak berwibawa sehingga anggota masyarakat patuh.
Hukum yang hidup (living Law) tidak bisa lepas dari pertimbangan pihak yang berwibawa. Pihak yang berwibawa sudah tentu mempertimbangkan perkara sesuai dengan kebiasaan yang sudah membiasa, serta sesuai dengannilai-nilai yang dianut masyarakat. Dengan demikian ditinjau dari deskripsi diatas dapatlah ditarik 2 (dua) asumsi dasar, yaitu : Pertama, bahwasanya kaidah hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis dan tercatat. Kedua, bahwasanya pembentukan hukum yang hidup tidak lepas dari legitimasi kewibawaan 5 yang mengakibatkan adanya pertimbangan nilai, maka dapat disimpulkan bahwa kaidah hukum tidak semata-mata terlihat berupa fakta empiris tetapi juga berupa hal rasional. Hukum tidak bisa diindetikkan begitu saja dengan fakta empiris yang alamiah dan fisik serta dapat diserap dengan panca indera. Hukum bersangkutan dengan manusia yang secara utuh bersosok monodualistis antara jiwa dan badan, individu dan masyarakat. Kaidah hukum berintikan keadilan. Adil dan tidak adil merupakan pendapat mengenai nilai secara pribadi. Kaidah hukum bersangkutan dengan martabat manusia (human dignity), bagaimana manusia terlindungi dari kesewenang-wenangan, bebas dari rasa takut dan lain-lain dan ini merupakan aspek personal dari hukum. Sedangkan terhadap pernyataan bahwa kaidah hukum berlaku bagi siapapun dan kapanpun, pedoman bagi anggota masyarakat bertingkah laku, dan untuk memperhatikan kaidah hukum tersebut dibentuklah pranata hukum dan lembaga hukum, adalah merupakan aspek sosial dari kaidah hukum.
Aspek personal dan aspek sosial dari kaidah hukum itu sepertinya saling bertentangan satu sama lainnya seperti tidak saling mendukung. Usaha-usaha untuk mempertemukan antara keduanya dapat disebut usaha kultural. Tegasnya bahwa proses pembentukan dan penerapan kaidah hukum dimana hubungan timbal balik aspek personal dan aspek sosial merupakan proses berbudaya sehingga proses integrasi antara pribadi masyarakat dan kebudayaan merupakan inti diatur dari kaidah hukum yang secara substansial titik tolak kajian dari Ilmu Hukum. Demikian deskripsi bagaimana ilmu hukum dikaji dari aspek Ontologi Ilmu.

2. Dari Aspek Epistemologi Ilmu
Bagaimanakah Ilmu Hukum apabila dikaji dari aspek Epistemologi Ilmu? Akan tetapi sebelum mengkajinya, penulis memandang perlu kiranya dibahas selintas pengertian “Epistemologi” ini. Ditinjau aspek etimologi maka epistologi berasal dari bahasa Yunani yang merupakan kata gabungan dari kata episteme dan logos, Episteme artinya pengetahuan dan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Sehingga secara mudah epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.
Selanjutnya, menurut A.M.W. Pranarka menyebutkan, bahwa menurut: “Webster Third New International Dictionary mengartikan epitemologi sebagai “the study of methol and grounds of knowledge, especially with reference to its limits and validity”. Pada tempat yang sama secara singkat dikemukakan bahwa Runnes didalam “The theory of knowledge”. Dalam pada itu Runnes didalam Dictionary of Philosophy memberikan keterangan bahwa epistemology merupakan the bronch of philosophy which investigates the origin, structure methode an validity of knowledge”.6 Selain itu secara terminologis, maka Epistemologi dikenal dengan istilah “Gnoseologi”, kemudian dalam bahasa Jerman diterjemahkan menjadi“Erkentnistheorie”. Di dalam bahasa Belanda dikenal istilah “Kennisteer” ataupun “Kenttheorien”.
Dari apa yang diuraikan diatas maka ditinjau melalui aspek Ilmu Hukum secara etimologi akan menjawab kebenaran dengan melalui metode Ilmu Hukum.
Pada dasarnya, apabila ilmu hukum sebagai ilmu maka bertujuan mencari kebenaran. Menurut Theori Korespodensi kebenaran merupakan persesuaian, antara pengetahuan dan obyeknya. Sehingga dengan demikian pengetahuan terletak dalam dimensi mentalitas manusia, sedangkan obyek dalam dunia nyata. Untuk menyatakan adanya hubungan inilah timbul pendapat antara faham empiris dan rasionalisme. Menurut empirisme pengetahuan adalah segenap pengalaman manusia, sedangkan menurut faham rasionalisme maka akallah/ratiolah yang dapat mengetahui obyek. Akan tetapi, terhadap hakekat hukum tidak selalu berdasarkan empirisme/rasionalisme saja oleh karena gejala hukum bukan saja berupa pengalaman manusia saja seperti perilaku hukum akan tetapi diluar pengalaman manusia seperti nilai-nilai hukum. Theori Kebenaran korespodensi dan pramatiklah yang dapat dicapai ilmu hukum. Maka untuk itu guna mencari keadilan yang benar digunakanlah sebuah metode. Oleh karena itu, sebagai pengaruh adanya kebenaran empirisme dan rasionalisme maka secara tradisional dibedakan dua metode ilmu yakin metode deduksi dan metode induksi. Selanjutnya, dalam perkembangannya timbul metode yang berusaha menggabungkan deduksi dan induksi, yaitu metode logiko –hipotetiko – verifikasi yang berdasarkan pandangan Karl R. Popper muncul theori faksifikasi. Dalam metode ini maka suatu masalah berusaha dipecahkan oleh pelbagai disiplin baik yang termasuk deduktif atau induktif.
Istilah “ Logiko – hipotetiko “ menempatkan kaidah hukum sebagai hal mentah yang perlu dimasukkan ke dalam proses “Verifikasi” cenderung menjadi justifikasi/pembenaran. Dengan mengadakan verifikasi, maka sebab itu menurut Popper bukan verifikasi yang menjadi kretarium demarkasi antara ilmu dan bukan ilmu tetapi ialah faksifikasi yakni kemampuan untuk menyangkal kesalahan. Dengan demikian Popper mengganti verifikasi bersifat induktif dengan falsifikasi deduktif. Konkretnya, metode ilmu Hukum ditentukan oleh aspek Ontologis dan Axiologis dari hukum. Konsep mengenai metode dan ilmu sifatnya universal. Artinya, untuk bidang apa saja atau untuk jenis ilmu manapun adalah sama, tetapi pengaruh dari obyek suatu ilmu tentu tidak dapat dihindarkan. Sebab itu hakikat hukum dan fungsinya dalam praktek tak bisa dihindari pengaruh dalam menentukan metode yang digunakan dalam ilmu hukum.
Sebagaimana telah diuraikan dari aspek Ontologi maka fokus utama titik kajian substansial Ilmu Hukum adalah kaidah hukum. Tegasnya, eksistensi hukum ditentukan adanya kaidah hukum. Mungkin kaidah hukum mempunyai nilai/perilaku, tetapi nilai/perilaku itu dapat saja bukan hukum. Ciri pokok dari nilai dan perilaku sebagai hukum ialah sifat normatifnya. Sudah tentu kaidah hukum berisi nilai-nilai dan perilaku manusia. Konkretnya, hukum itu merupakan jalinan kesatuan antara kaidah, nilai dan perilaku. Nilai merupakan turunan dari ide dan perilaku merupakan turunan realitas/fakta. Apabila kita mencita-citakan suatu ilmu tentang hukum/ilmu hukum maka penentuan metode Ilmu Hukum harus ditentukan prinsip intergralistis atau berjalinan kesatuan antara kaidah, nilai dan perilaku. Pada kaidah hukum tersirat antara nilai dan perilaku sehingga fokus sentral atau fundamental metode Ilmu Hukum adalah analisis atas kaidah. Sedangkan analisis nilai dan perilaku hanya bahan kajian sampingan dari analisis kaidah. Maka oleh karena itu secara ideal dalam Ilmu Hukum dari visi epistemologis mempergunakan metode logika-hipotetiko-verifikasi.

3. Dari Aspek Axiologi Ilmu
Menurut Jujun S Suriasumantri maka ditinjau dari aspek axiologi membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral ?
Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/referisonal ?
Konkritnya, dari aspek tersebut Axiologi Ilmu Hukum akan berkoleratif terhadap kegunaan dari Ilmu Hukum itu sendiri. Sebagaimana diketahui bersama bahwasanya Ilmu Hukum bersifat dinamis dalam artian mempunyai pengaruh dan fungsih yang khas dibanding dengan bidangbidang hukum yang lain.
Apabila dijabarkan secara intens, detail dan terperinci maka peran/pengaruh Ilmu Hukum tersebut dari aspek Axiologi Ilmu adalah sebagai berikut :
Pertama, dalam proses pembentukan hukum Ilmu Hukum melalui hasilhasil penelitian, kajian teroritik dari para doktrina sebagai bahan masukan yang penting dalam rangka menjadi masukan untuk menyusun RUU (Rancangan Undang-Undang) sehingga diharapkan nantinya Undang-Undang yang diterapkan dapat berfungsi maksimal karena telah memenuhi analisis, filosofis, yuridis dan sosiologis;
Kedua, dalam praktek hukum lazim pada proses peradilan oleh hakim, jaksa/Penuntut Umum, Penasehat Hukum dipergunakan pendapat para doktrina untuk menyusun putusan, tuntutan dan pembelaan. Dari aspek ini merupakan perpaduan antara dunia teori dan dunia praktek;
Ketiga, Ilmu hukum juga dapat berpengaruh untuk pendidikan hukum baik yang bersifat formal dan informal serta untuk jangka panjang akan berpengaruh kepada mutu pendidikan hukum dan lulusannya dan;
Keempat, Bahwa dengan pesat dan majunya Ilmu Hukum akan menarik, memacu dan berpengaruh kepada perkembangan bidang-bidang lainnya diluar hukum. Peranan Ilmu Hukum disini nampak kepada bidang-bidang yang memerlukan suatu kejelasan dan pengaturan dimana suatu sistem hukum berusaha mengatur bidang yang bersifat progresif dan interventif;
Sedangkan fungsi Ilmu Hukum dari aspek Axiologi Ilmu nampak dalam: Pertama, Bahwa Ilmu hukum berusaha mensistemasi bahan-bahan hukum yang terpisah-pisah secara komprehensif dalam suatu buku hukum seperti: Kondefikasi, Unifikasi dan lain-lain;
Kedua, Bahwa adanya fungsi Ilmu Hukum yang mendeskripsikan pertimbangan-pertimbangan dan diperlukan oleh bidang-bidang lain serta sehingga sebagai pencerahan guna mengatasi kesulitan dan kebuntuan yang meluas dalam dunia hukum khususnya terhadap Ilmu Hukum yang bersifat legalitas;

III. Konklusi
Dikaji dari perspektif Ontologi Ilmu Hukum maka Ilmu Hukum menetapkan kajian substansial kepada kaidah-kaidah hukum tertulis ataupun tidak tertulis maupun kaidah bersifat abstrak ataupun kontrit sedangkan dari aspek Epistemologi Ilmu maka Ilmu Hukum menetapkan kajian fundamental kepada aspek kebenaran dengan theori Kebenaran (The Correspondence Theory of Truth) dan Theori Kebenaran Pragmatik (The Pragmatic Theory of Truth) serta dengan metode Logika – hipotetika – verifikasi dan ditinjau dari aspek Axiologi Ilmu maka Ilmu Hukum mempunyai 4 (empat) pengaruh pendidikan hukum dan untuk bidang-bidang lainnya serta mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu fungsi sismatisasi fungsi pertimbangan dan pencerahan terhadap kebekuan yang melanda dunia hukum. Oleh karena demikian maka disarankan Ilmu Hukum harus bersifat integratif Pasca globalisasi oleh karena apabila tidak bersifat integratif akan mengakibatkan adanya disintegrasi dalam Ilmu Hukum secara Ontologis,
Epistemologis maupun Axiologis dan untuk mencegah adanya disintegrasi
dalam Ilmu Hukum maka perlu ditumbuhkembangkan iklim Integritas
dalam diri para ahli teoritik dan praktik.*****
Malang, 2 September 2008, dikutip kembali pada tanggal 28 Maret 2009. AY

Jumat, 27 Maret 2009

SISTEM HUKUM PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK PIDANA

Oleh: Dr. LILIK MULYADI, S.H., M.H.1
I. PENDAHULUAN
Pada dasarnya, secara eksplisit dengan tolok ukur judul konteks di atas
kiranya ada beberapa aspek yang perlu dikaji, dideskripsikan dan diberikan
atensi secara lebih cermat, detail dan terperinci sehingga secara substansial
tidak membawa polarisasi pemikiran yang ambiguitas. Dimensi ini sejak awal
esensial dikemukakan oleh karena konteks di atas mensiratkan adanya
percampuran alur pemikiran antara anasir normatif pada kebijakan
formulatif di satu sisi dengan anasir “yurisprudensi” dan pergeseran
“kebijakan” pada tataran aplikatif di sisi lainnya dalam satu pola
pembahasan. Terhadap ruang lingkup dan esensi judul konteks tersebut di
atas maka ada beberapa deskripsi dan argumen yang kiranya dapat
dikemukakan lebih intens, yaitu: Pertama, bahwa secara global dan
representatif dikaji dari perspektif substansi materi Tindak Pidana Korupsi
maka Mahkamah Agung tidak ada menggariskan “kebijakan” terhadap
sistem hukum pemeriksaan perkara Tindak Pidana Korupsi. Konkretnya,
sistem hukum pemeriksaan perkara Tindak Pidana Korupsi mengacu dan
hendaknya harus sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang
berlaku sebagai hukum positifnya (UU 31/1999 jo UU 20/2001). Kedua,
“kebijakan” yang digariskan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam
rangka sistem hukum pemeriksaan perkara Tindak Pidana Korupsi hanya
bersifat prosedural dan administratif sebagaimana termaktub dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 1988 tanggal 7 Juli 1988, Surat
Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2001 tanggal 20 Agustus 2001,
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2002 tanggal 30 Januari
2002. Ketiga, bahwa walaupun Mahkamah Agung berdasarkan ketentuan
Pasal 32 UU 14/1985 jo UU 5/2004 melakukan pengawasan tertinggi
terhadap penyelenggara peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
1Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Penulis Buku Ilmu
Hukum dan Kini Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur
2
menjalankan kekuasaan kehakiman maka pengawasan tersebut tidak
mengacu kepada substansi perkara dan tidak boleh mengurangi kebebasan
Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Keempat, bahwa dikaji dari
perspektif teori hukum maka di Indonesia tidak menganut asas “the binding
force of precedents” akan tetapi bersifat “persuasieve precedents” maka kebijakan
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ketika memutus perkara bukanlah
kebijakan yang bersifat mengikat akan tetapi tergantung kepada peradilan
bawahannya, terkecuali terhadap yurisprudensi yang bersifat konstan/tetap
(vaste jurisprudentie). Dikaji dari perspektif sumber hukum2 maka
Yurisprudensi merupakan sumber hukum dalam artian formal.3
Oleh karena itu, berpijak dari dimensi di atas maka “kebijakan”
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam rangka sistem hukum
pemeriksaan perkara Tindak Pidana Korupsi di sini dimaksudkan sebagai
perkara yang telah diterima, diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Agung
ketika perkara tersebut diterima, diperiksa dan diputus baik dalam peradilan
tingkat kasasi maupun peninjauan kembali dan bukan “kebijakan”4 dalam
2Menurut Zevenbergen sumber hukum merupakan sumber terjadinya
hukum. Pada hakekatnya sumber hukum secara konvensional dapat dibagi menjadi
sumber hukum materiil dan sumber hukum formal. Menurut Utrecht sumber
hukum materiil yaitu perasaan hukum (keyakinan hukum) individu dan pendapat
umum (public opinion) yang menjadi determinan materiil membentuk hukum,
menentukan isi dari hukum, sedangkan sumber hukum formal, yaitu menjadi
determinan formil membentuk hukum (formele determinanten van de rechtsvorming),
menentukan berlakunya dari hukum. Sumber-sumber hukum yang formil adalah:
Undang-Undang, Kebiasaan dan adat yang dipertahankan dalam keputusan dari
yang berkuasa dalam masyarakat, traktat, yurisprudensi, dan pendapat ahli hukum
yang terkenal (doktrina). (E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum
Indonesia, Cetakan Kesebelas, Jakarta, 1989, hlm. 84-85).
3Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan
Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 56. Dikaji dari aspek terminologinya
maka yurisprudensi berasal dari kata Jurisprudentia (bahasa Latin), yang berarti
pengetahuan hukum (Rechtsgeleerdheid). Sebagai istilah teknis yuridis di Indonesia,
sama pengertiannya kata “Jurisprudentie” dalam bahasa Belanda dan “Jurisprudence”
dalam bahasa Perancis, yaitu yang berarti hukum peradilan atau peradilan tetap.
Dalam bahasa Inggris maka terminologi “Jurisprudence” diartikan sebagai teori ilmu
hukum, sedangkan pengertian yurisprudensi dipergunakan dalam rumpun sistem
“Case Law” atau “Judge-made Law”. Kemudian kata “Jurisprudenz” dalam bahasa
Jerman berarti ilmu hukum dalam arti yang sempit (aliran Ajaran Hukum), misalnya
Begriff-jurisprudenz, Interressen jurisprudenz dan lain sebagainya. Istilah teknis bahasa
Jerman untuk pengertian yurisprudensi, adalah kata “Ueberlieferung”.
4Secara gradual dan fundamental, terminologi “kebijakan” berasal dari
istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Terminologi ini dapat diartikan
sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah
(dalam artian luas termasuk penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau
menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidangbidang
penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan
hukum/peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya
3
artian apa yang dikenal dari perspektif teoretis dan akademik. Maka bertitik
tolak kepada apa yang telah diuraikan di atas, maka tulisan berikut lebih
jauh akan membahas sistem hukum kecendrungan tentang yurisprudensi dan
pergeseran “kebijakan” putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung
ketika menerima, memeriksa dan memutus perkara Tindak Pidana Korupsi
yang memerlukan perjabaran dan perlu mendapat atensi dalam dunia
peradilan Indonesia dewasa ini dikaji dari perspektif teoretis dan praktik.
II. KEKUATAN MENGIKAT YURISPRUDENSI DALAM SISTEM HUKUM
EROPA KONTINENTAL DAN ANGLO SAXON
Dikaji dari perspektif sumber hukum maka Yurisprudensi merupakan
sumber hukum dalam artian formal. Dikaji dari aspek terminologinya maka
yurisprudensi berasal dari kata Jurisprudentia (bahasa Latin), yang berarti
pengetahuan hukum (Rechtsgeleerdheid). Sebagai istilah teknis yuridis di
Indonesia, sama pengertiannya kata “Jurisprudentie” dalam bahasa Belanda
dan “Jurisprudence” dalam bahasa Perancis, yaitu yang berarti hukum
peradilan atau peradilan tetap.
Dalam bahasa Inggris maka terminologi “Jurisprudence” diartikan
sebagai teori ilmu hukum, sedangkan pengertian yurisprudensi
dipergunakan dalam rumpun sistem “Case Law” atau “Judge-made Law”.
Kemudian kata “Jurisprudenz” dalam bahasa Jerman berarti ilmu hukum
dalam arti yang sempit (aliran Ajaran Hukum), misalnya Begriff-jurisprudenz,
Interressen jurisprudenz dan lain sebagainya. Istilah teknis bahasa Jerman
untuk pengertian yurisprudensi, adalah kata “Ueberlieferung”.5
Sebagai salah satu sumber hukum formal maka yurisprudensi penting
eksistensinya apabila dikorelasikan terhadap tugas hakim. Apabila dikaji dari
aliran legisme maka peranan yurisprudensi relatif kurang penting karena
diasumsikan semua hukum terdapat dalam undang-undang. Oleh karena itu,
hakim dalam melaksanakan tugasnya terikat apa yang ada dalam undangundang,
sehingga merupakan pelaksana undang-undang. Sedangkan
menurut aliran Freie Rechtsbewegung maka hakim dalam melaksanakan
tugasnya bebas untuk melakukan apa yang ada menurut undang-undang
ataukah tidak. Dimensi ini terjadi karena pekerjaan hakim adalah melakukan
“Rechtsschepping”, yaitu melakukan penciptaan hukum. Konsekuensi
logisnya, maka memahami yurisprudensi merupakan hal yang bersifat
substansial di dalam mempelajari hukum, sedangkan mempelajari undangmewujudkan
kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara). (Lilik
Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi & Victimologi, PT. Djambatan,
Jakarta, 2007, hlm. 26) dan Vide: Henry Campbell Black, et. Al, Black’s Law
Dictionary, Fifth Edition, St. Paulmin West Publicing C.O, 1979, hlm. 1041
mendifinisikan “policy” sebagai: “The general pprinciples by which goverment is guided
in it’s management of public affairs, or the legislature is measures...this term as applied to a
law ordinance, or rule of law, denotes its general purpose or tendency considered as directed
to the welfare or prosperity of the state community.”
5Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan
Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 56
4
undang merupakan hal yang bersifat sekunder. Sedangkan terhadap aliran
rechtsvinding, peranan yurisprudensi relatif penting dan aspek ini diserahkan
kepada kebijakan hakim. Menurut aliran ini, hakim terikat undang-undang
akan tetapi tidak seketat aliran legisme karena hakim memiliki “kebebasan
yang terikat” (gebonden Vrijheid) atau “keterikatan yang bebas” (Vrije
Gebondenheid). Oleh sebab demikian maka tugas hakim disebutkan sebagai
melakukan “Rechtsvinding” yang artinya adalah menyelaraskan undangundang
sesuai dengan tuntutan jaman. Kebebasan yang terikat dan
keterikatan yang bebas dapat melalui pelbagai penafsiran, seperti penafsiran
undang-undang, analogi (abstraksi), Rechtsverfijning/determinatie yaitu
membuat pengkhususan dari suatu asas dalam undang-undang yang
mempunyai arti luas (dari luas ke khusus). Contohnya adalah arrest H.R.
tertanggal 4 Februari 1916 mengenai pasal 1401 N.B.W (sama dengan pasal
1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Didalam keputusan tersebut
Hoge Raad memuat pengkhususan dari azas “Siapa bersalah (penuh) wajib
untuk mengganti kerugian (penuh)”, menjadi “Siapa bersalah sebagian wajib
untuk mengganti kerugian sebagian”. Keputusan ini antara lain dimuat
dalam W. 9949 dan N.J. 1916-450.6
Sedangkan apabila dikaji dari pandangan doktrina, maka ada dua
alasan pentingnya eksistensi yurisprudensi di Indonesia. Pertama,
yurisprudensi erat kaitannya dengan pembaharuan dan pembinaan hukum
seperti apa yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja:
“Walaupun perundang-undangan merupakan teknik utama untuk
melaksanakan pembaharuan hukum, pembaharuan kaidah-kaidah dan azas serta
penemuan arah atau bahan bagi pembaharuan kaidah demikian juga menggunakan
sumber-sumber hukum lain yaitu keputusan badan-badan peradilan (yurisprudensi),
sedangkan tulisan sarjana hukum yang terkemuka disebut pula sebagai sumber
tambahan.”7
Kedua, Soepomo menyatakan, bahwa:
“Di Indonesia, hakim tidak terikat oleh putusan-putusan hakim yang telah ada,
akan tetapi, dalam praktek Pengadilan, sebagai juga dalam praktek Pengadilan di
negara-negara Eropah, hakim bawahan sangat memperhatikan putusan-putusan
hakim atasan berhubung pula dengan adanya kemungkinan permohonan banding dan
kasasi. Berhubungan dengan itu, jurisprudensi dari hakim atasan merupakan sumber
penting untuk menemukan hukum obyektif yang harus diselenggarakan oleh para
hakim.”8
6Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan.....,
Ibid, hlm. 60-61
7Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum
Nasional, Suatu uraian tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan
Hukum di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1976, hlm. 12
8Lie Oen Hock, Jurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, Pidato Diucapkan Pada
Waktu Pengresmian Pemangkuan Jabatan Guru Besar Luar Biasa Dalam Ilmu Pengantar
Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia Pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan
5
Secara teoritik dan praktik ada perbedaan pengertian yurisprudensi
pada negara yang menganut Sistem Hukum Kodefikasi/Civil Law atau Eropa
Kontinental seperti Indonesia dengan negara yang menganut Sistem
Comman Law/Anglo Saxon/Case law seperti di Negara Inggris, Amerika
Serikat, dan lain-lain. Pada hakekatnya maka yurisprudensi di negara-negara
yang sistem hukumnya Comman Law seperti di Inggris atau Amerika Serikat,
mempunyai pengertian yang lebih luas, dimana yurisprudensi berarti ilmu
hukum. Sedangkan pengertian yurisprudensi di Negara-negara Eropa
kontinental termasuk kita di Indonesia yang berdasarkan asas konkordansi
juga menganut sistem itu, maka yuriprudensi hanya berarti putusan
pengadilan. Yurisprudensi yang kita maksudkan sebagai putusan
pengadilan, di negara-negara Anglo Saxon dinamai preseden.9
Dikaji dari aspek teoritik dan praktik peradilan, pada hakekatnya
yurisprudensi dapat dibagi menjadi 2 (dua) klasifikasi, yaitu:
1. Yurisprudensi (biasa) dimana seluruh putusan pengadilan yang telah
bersifat “inkracht van gewijsde” yaitu telah berkekuatan hukum tetap,
seperti misalnya putusan perdamaian, seluruh putusan yudex facti
(Pengadilan Negeri/Tinggi yang telah diterima oleh para pihak), seluruh
putusan Mahkamah Agung RI, dan lain sebagainya.
2. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie) yaitu putusan hakim yang selalu
diikuti oleh hakim lain dalam perkara yang sejenis berlangsung secara
terus menerus.
Pada asasnya yurisprudensi adalah hukum (judge made law) dan
mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak (Pasal 1917 KUH
Perdata) serta mengikat berlandaskan asas Res Judicata Proveri ate Habetur.
Apabila diperbandingkan secara selintas kekuatan mengikat
yurisprudensi dalam sistem hukum eropa kontinental seperti di Indonesia
dan sistem hukum comman law maka terletak pada tidak terikatnya hakim
pada peradilan bawahan terhadap suatu yurisprudensi pada sistem hukum
eropa kontinental seperti Indonesia. Tegasnya, menurut Prof. Z. Asikin
Kusumaatmadja, SH maka kekuatan mengikat yurisprudensi di Indonesia
bersifat “Persuasive precedent”. Lain halnya di negara-negara penganut Anglo
Saxon, dimana dianut adanya sistem “the binding force of precedent” atau asas
“stare decisis” atau asas “stare decisis et quita non movere”. Secara gradual asas
ini mengikat hakim pada yurisprudensi untuk perkara serupa, dengan isi
yurisprudensi yang bersifat esensial yang disebut ratio decidendi. Pada
asasnya, lembaga preseden dalam sistem hukum Comman law system
menentukan ketentuan-ketentuan hukum itu dikembangkan dalam proses
penerapannya. Hal ini berarti, bahwa ia merupakan hasil karya dari para
hakim dan bukan dari para ahli hukum yang lain, seperti pengajar-pengajar
pada perguruan tinggi, bagaimanapun pandainya mereka ini. Sebaliknya,
karya-karya hakim itu hanya diakui sebagai hukum manakala ia dihasilkan
Masyarakat Dari Universitas Indonesia Di Jakarta Pada Tanggal 19 September 1959,
Penerbit PT Penerbitan Universitas, Bandung, Cetakan keempat, 1965, hlm. 24
9Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu kajian Filosofis dan Sosiologis), PT
Toko Buku Gunung Agung, cetakan II, Jakarta, hlm. 125
6
dalam suatu proses pengadilan. Pendapat seorang hakim yang dinyatakan di
luar tugasnya mengadili, bukan merupakan ketentuan hukum yang sah.10
Akan tetapi, walaupun di Indonesia yurisprudensi secara teoritik dan
praktik bersifat “persuasieve precedent” akan tetapi dalam praktiknya tidak
sedikit yurisprudensi tersebut dijadikan acuan oleh hakim bawahannya
(yudex facti). Menurut Utrecht11 ada 3 (tiga) sebab maka seorang hakim
menurut keputusan seorang hakim lain:
1. Keputusan hakim mempunyai kekuasaan (gezag) terutama apabila
keputusan itu dibuat oleh Pengadilan Tinggi atau oleh Mahkamah Agung.
Mr. Wirjono Projodikoro, yang pernah menjadi Ketua Mahkamah Agung
RI, mengatakan: “Misalnya di Indonesia Mahkamah Agung adalah badan
pengadilan yang tertinggi yang bersendi atas Undang-Undang Dasar
melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan pengadilanpengadilan
yang lain. Dalam pengawasan ini dan lagi dalam peradilan
kasasi sudah seharusnya Mahkamah Agung dengan putusan-putusannya
mempengaruhi cara berjalannya peradilan di seluruh Indonesia. Seorang
hakim menurut keputusan seorang hakim lain yang kedudukannya lebih
tinggi --Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung -- karena hakim yang
disebut terakhir adalah pengawas atas pekerjaannya. Di samping itu juga
sering juga dihormatinya, karena jasa-jasanya (telah banyak
pengalamannya). Dapat dikatakan: karena suatu sebab yang psikhologis,
maka seorang hakim menurut keputusan seorang hakim lain yang
berkedudukannya lebih tinggi.
2. Di samping sebab yang psikhologis itu ada juga sebab praktis, maka
seseorang hakim menurut keputusan yang telah diberi oleh seorang
hakim yang berkedudukannya lebih tinggi. Bila seorang hakim memberi
keputusan yang isinya berbeda dari pada isi keputusan seorang hakim
yang kedudukannya lebih tinggi, yaitu seorang hakim yang mengawasi
pekerjaan hakim yang disebut pertama, maka sudah tentu pihak yang
tidak menerima keputusan itu akan meminta apel atau revisi, yaitu naik
banding. Pihak yang tidak menerima keputusan tersebut akan meminta
perkaranya dapat dibawa kemuka hakim itu yang kedudukannya lebih
tinggi daripada kedudukan hakim yang telah memutuskan perkaranya,
dan yang pernah memberi keputusan mengenai suatu perkara yang
coraknya sama tetapi bunyinya keputusan berlainan.
3. Akhirnya, ada sebab: hakim menurut keputusan hakim lain, karena ia
menyetujui isi keputusan hakim lain itu, yang sebab persesuaian
pendapat.
Pada asasnya, dari apa yang telah diuraikan konteks di atas maka
dapatlah ditarik suatu “benang merah” bahwasanya yurisprudensi adalah
10Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,
hlm. 113
11 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum ........, Op.Cit, hlm. 122-123
7
hukum (judge made law) dan mempunyai kekuatan mengikat terhadap para
pihak (Pasal 1917 KUH Perdata) serta mengikat berlandaskan asas Res
Judicata Proveri ate Habetur. Apabila diperbandingkan secara selintas kekuatan
mengikat yurisprudensi dalam sistem hukum eropa kontinental seperti di
Indonesia dan sistem hukum comman law seperti di Amerika serikat dan
Inggris maka terletak pada tidak terikatnya hakim pada peradilan bawahan
terhadap suatu yurisprudensi pada sistem hukum eropa kontinental.
Tegasnya, kekuatan mengikat yurisprudensi di Indonesia bersifat
“Persuasive precedent” sedangkan di negara-negara penganut Anglo Saxon
menganut sistem “the binding force of precedent” atau asas “stare decisis”
atau asas “stare decisis et quita non movere”. Secara gradual asas ini
mengikat hakim pada yurisprudensi untuk perkara serupa, dengan isi
yurisprudensi yang bersifat esensial yang disebut ratio decidendi. Pada
asasnya, lembaga preseden dalam sistem hukum Comman law system
menentukan ketentuan-ketentuan hukum itu dikembangkan dalam proses
penerapannya
III. SELAYANG PANDANG TENTANG SISTEM HUKUM
“KECENDRUNGAN” YURISPRUDENSI DAN PERGESERAN
“KEBIJAKAN” MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DALAM
PRAKTIK PENANGANAN PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK PIDANA
KORUPSI
Pada dasarnya, walaupun yurisprudensi di Indonesia bersifat
persuasive akan tetapi peranan dan eksistensinya lazim dijadikan acuan oleh
para hakim yudex facti (Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi). Dengan
konteks demikian ini maka yurisprudensi dalam sistem hukum Indonesia di
samping membangun, menemukan dan menciptakan hukum juga bersifat
menjadi pegangan, acuan serta pedoman para hakim yudex facti dan bahkan
di tingkat Mahkamah Agung (yudex juris) sebagai “kunci” dalam memutus
perkara. Aspek ini misalnya secara tegas dapat dilihat dalam penanganan
perkara Tindak Pidana Korupsi.
Konsekuensi logisnya, yurisprudensi dan kebijakan Mahkamah Agung
RI telah memberi landasan dan terobosan serta melakukan pergeseran dalam
sistem hukum penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi dari pengertian
perbuatan melawan hukum bersifat formal menjadi bersifat materiil yang
meliputi setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan
masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat.
Konkretnya, landasan, terobosan dan pergeseran pengertian “wederrechtelijk”,
khususnya perbuatan melawan hukum materiil dalam hukum pidana
tersebut mendapat pengaruh kuat dari pengertian perbuatan melawan
hukum (onrechtmatigedaad) secara luas dari hukum perdata melalui arrest
Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919.
Kemudian dalam praktik peradilan khususnya melalui yurisprudensi dan
kebijakan maka Mahkamah Agung RI juga telah memberikan nuansa baru
perbuatan melawan hukum materiil bukan hanya dibatasi dari fungsi Negatif
8
sebagai alasan peniadaan pidana guna menghindari pelanggaran asas
legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum pidana.
Akan tetapi juga Mahkamah Agung dengan melalui yurisprudensinya
melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materiil ke arah fungsi
Positif melalui kretaria limitatif dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang
tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang
lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi
masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku
yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut.
Sebagai salah satu contoh yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang
menerapkan sifat melawan hukum materiil dengan fungsi negatif yang
bertujuan menghilangkan alasan penghapus pidana (yang tidak tertulis)
adalah dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 42 K/Kr/1966 tanggal 8
Januari 1966 atas nama terdakwa Machroes Effendi dimana Mahkamah
Agung berpendapat bahwa adanya tiga faktor yang menghapuskan sifat
melawan hukum suatu perbuatan. Adapun ketiga pertimbangan tersebut,
disebutkan dengan redaksional sebagai berikut:
“bahwa Mahkamah Agung pada azasnya dapat membenarkan pendapat
dari Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa suatu tindakan pada umumnya
dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan
suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan
azas-azas keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat
umum sebagaimana Pengadilan Tinggi dianggap ada dalam perkara
penggelapan yang formil terbukti dilakuikan oleh terdakwa.”
Dengan tolok ukur sebagaimana dimensi di atas, maka berdasarkan
kasus Machroes Effendi inilah timbul suatu yurisprudensi Mahkamah Agung
dengan Nomor: 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang jelas menganut
azas “perbuatan melawan hukum materiil” (Materiele Wederrechtelijk-heid)
dalam artian Negatif.
Sedangkan yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendirian
perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi Positif terdapat dalam
perkara Putusan Nomor: 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983 atas
nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa. Pada asasnya, yurisprudensi
Mahkamah Agung ini pertimbangan putusannya bersifat futuristis dengan
titik tolak penafsiran yang keliru pengertian “melawan hukum” dari yudex
facti diidentikan sebagai “melawan peraturan yang ada sanksi pidananya”,
sebagaimana dikatakan dengan redaksional sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran terhadap
sebutan “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan
dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak
melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai
pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu
diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang
bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.”
9
Kemudian, yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut secara implisit
memberikan pertimbangan bahwa penanganan kasus ini mengacu kepada
pengertian melawan hukum materiil dari fungsi positif. Aspek ini lebih detail
dipertimbangkan dengan redaksional sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya
dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai
negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari
seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan
kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara
menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan melawan hukum”, karena
menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau
perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.”
Pada hakekatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung inilah yang
dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami
perasaan keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan lainnya berpendapat
bahwa sejak putusan itu ajaran sifat melawan hukum materiel telah
mempunyai fungsi positif. Fungsi positif ini, menurut ajaran umum hukum
pidana, tidak diperbolehkan karena akan bertentangan dengan asas legalitas.
IV. PENUTUP
Yurisprudensi merupakan sumber hukum dalam artian yang formal.
Dikaji dari aspek teoritik maka yurisprudensi penting eksistensinya apabila
dikorelasikan terhadap tugas hakim. Dikaji dari perspektif aliran legisme maka
peranan yurisprudensi relatif kurang penting karena diasumsikan semua
hukum terdapat dalam undang-undang. Oleh karena itu, hakim dalam
melaksanakan tugasnya terikat apa yang ada dalam undang-undang,
sehingga merupakan pelaksana undang-undang. Sedangkan menurut aliran
Freie Rechtsbewegung maka hakim dalam melaksanakan tugasnya bebas untuk
melakukan apa yang ada menurut undang-undang ataukah tidak. Dimensi
ini terjadi karena karena pekerjaan hakim adalah melakukan
“Rechtsschepping”, yaitu melakukan penciptaan hukum. Konsekuensi
logisnya, maka memahami yurisprudensi merupakan hal yang bersifat
substansial di dalam mempelajari hukum, sedangkan mempelajari undangundang
merupakan hal yang bersifat sekunder. Sedangkan terhadap aliran
rechtsvinding, peranan yurisprudensi relatif penting dan aspek ini diserahkan
kepada kebijakan hakim. Menurut aliran ini, hakim terikat undang-undang
akan tetapi tidak seketat aliran legisme karena hakim memiliki “kebebasan
yang terikat” (gebonden Vrijheid) atau “keterikatan yang bebas” (Vrije
Gebondenheid). Oleh sebab demikian maka tugas hakim disebutkan sebagai
melakukan “Rechtsvinding” yang artinya adalah menyelaraskan undangundang
sesuai dengan tuntutan jaman. Kebebasan yang terikat dan
keterikatan yang bebas dapat melalui pelbagai penafsiran seperti penafsiran
undang-undang, analogi (abstraksi) Rechtsverfijning/determinatie yaitu
membuat pengkhususan dari suatu asas dalam undang-undang yang
mempunyai arti luas (dari luas ke khusus). Dikaji dari perspektif praktik
10
peradilan maka kekuatan mengikat yurisprudensi di Indonesia hanya bersifat
“persuasive”, lain halnya di dalam rumpun hukum Anglo Saxon/Case law
yang bersifat mengikat dengan asas “the binding force of precedent”.
Mahkamah Agung RI telah berulang kali menciptakan “pergeseran”
yurisprudensi dan suatu “kebijakan” sistem hukum pemeriksaan perkara
tindak pidana korupsi yang mengartikan perbuatan melawan hukum yang
bersifat formal (wederwettelijk) bergeser kepada pengertian perbuatan
melawan hukum yang bersifat materiil (wederrechtelijk) dengan mengacu
kepada kepada ketentuan hukum perdata dalam Arrest Cohen-Lindenbaum
tanggal 31 Januari 1919. Kemudian terjadi pula, adanya pergeseran perbuatan
melawan hukum materiil (wederrechtelijk) dengan fungsi negatif yang
bertujuan menghilangkan alasan penghapus pidana (yang tidak tertulis)
sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 42 K/Kr/1966
tanggal 8 Januari 1966 atas nama terdakwa Machroes Effendi. Kemudian
perbuatan melawan hukum materiil (wederrechtelijk) dengan fungsi negatif
ini bergeser menjadi fungsi positif melalui aspek pendekatan sejarah
pembentukan undang-undang, norma kemasyarakatan, yudikatif dan
legislatif melalui kretaria limitatif dan kasuistik berupa perbuatan pelaku
yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum
yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang
bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan
pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut sebagaimana terdapat
dalam putusan perkara Nomor: 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983
atas nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa.
DAFTAR BACAAN
A. Literatur
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis), PT. Toko Buku Gunung Agung, cetakan II, Jakarta, 2004
E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
Cetakan Kesepuluh, Jakarta, 1983
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara &
Konsultan Hukum “Prof. Oemar Seno Adji & Rekan”, Jakarta, 2002
Lilik Mulyadi Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi & Victimologi,
PT. Djambatan, Jakarta, 2004
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum
Nasional, Suatu uraian tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme
Pembaharuan Hukum di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1976
11
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan
Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 1979
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000
B. Majalah, Kamus dan lain-lain
Henry Campbell Black, et. Al, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, St.
Paulmin West Publicing C.O., 1979
Lie Oen Hock, Jurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, Pidato Pengukuhan
Guru Besar Universitas Indonesia tanggal 19 September 1959

ARTIKEL HUKUM

1
UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN KORBAN KEJAHATAN DIKAJI
DARI PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Oleh: Dr. LILIK MULYADI, S.H., M.H.1
I. Pendahuluan
Menurut pandangan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana pengertian
“korban kejahatan” adalah terminologi Ilmu Kriminologi dan Victimologi2 dan
kemudian dikembangkan dalam hukum pidana dan/atau sistem peradilan
pidana. Konsekuensi logisnya perlindungan korban dalam Kongres PBB
VII/1985 di Milan (tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders”) dikemukakan, bahwa hak-hak korban seyogianya terlihat sebagai
bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (“victims rights
should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system”).
Kemudian pengertian “korban” berdasarkan ketentuan angka 1 “Declaration of
basic principles of justice for victims of crime and abuse of power” pada tanggal 6
September 1985 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Deklarasi Nomor
A/Res/40/34 Tahun 1985 ditegaskan, bahwa:
“Victims” means persons who, individually or collectively, have suffered
harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic
loss or substantial impairment of their fundamental right, through acts or
omissions that are in violation of criminal laws operative within member
states, including those laws proscribing criminal abuse power”.
Kemudian, lebih jauh pengertian korban ini oleh Arif Gosita diartikan
sebagai, “mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau
1Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Penulis Buku Ilmu
Hukum dan Kini Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur
2Istilah Kriminologi pertama kali dipergunakan antropolog Perancis, Paul
Topinard dari kata crimen (kejahatan/penjahat) dan logos (ilmu pengetahuan). Edwin
H. Sutherland dan Donald R. Cassey menyebutkan kriminologi sebagai: “...the body
of knowledge regarding delinquency and crime as social phenomenon. It includes within its
scope the process of making law, the breaking of laws, and reacting to word the breaking of
laws..”. (Edwin H. Sutherland dan Donal R. Cassey, Principles of Criminology, New
York: Lippincott Company, 1974, hlm. 3). Kemudian Victimologi berasal dari katakata
latin: Victima yang berarti korban, logos yang berarti ilmu, pengetahuan ilmiah,
studi. (Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), PT. Bhuana
Ilmu Populer, Jakarta, 2004, hlm. 97 dan: Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana
Dalam Perspektif Teoritik Dan Praktik Peradilan Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem
Peradilan Dan Kebijakan Pidana, Filsafat Pemidanaan Serta Upaya Hukum Peninjauan
Kembali Oleh Korban Kejahatan, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 12)
2
orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang
menderita”.3 Lebih lanjut maka dapat diklasifikasikan korban kejahatan ada
yang sifatnya individual (individual victims) dan kolektif (collective victims),
korban kejahatan bersifat langsung yaitu korban kejahatan itu sendiri dan
tidak langsung (korban semu/abstrak) yaitu masyarakat, seseorang,
kelompok masyarakat maupun masyarakat luas dan selain itu kerugian
korban juga dapat bersifat materiil yang lazimnya dinilai dengan uang dan
immateriil yakni perasaan takut, sakit, sedih, kejutan psikis dan lain
sebagainya.
Kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana maupun dalam
praktik peradilan relatif kurang diperhatikan karena ketentuan hukum
Indonesia masih bertumpu pada perlindungan bagi pelaku (offender orientied).
Padahal, dari pandangan kriminologis dan hukum pidana kejahatan adalah
konflik antar individu yang menimbulkan kerugian kepada korban,
masyarakat dan pelanggar sendiri dimana dari ketiga kelompok itu
kepentingan korban kejahatan adalah bagian utama kejahatan dimana
menurut Andrew Ashworth, “primary an offence against the victim and only
secondarily an offence against the wider comunity or state”.4
Secara teoretis dan praktik pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia
kepentingan korban kejahatan diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai
bagian perlindungan masyarakat sesuai teori kontrak sosial (social contract
argument) dan teori solidaritas sosial (social solidary argument).5 Secara umum
dalam teori dikenal ada dua model perlindungan, yaitu: Pertama, model hakhak
prosedural (the procedural rights model) atau di Perancis disebut partie civile
model (civil action system). Secara singkat model ini menekankan
dimungkinkan berperan aktifnya korban dalam proses peradilan pidana
seperti membantu jaksa penuntut umum, dilibatkan dalam setiap tingkat
pemeriksaan perkara, wajib didengar pendapatnya apabila terpidana dilepas
bersyarat, dan lain sebagainya. Selain itu, dengan turut sertanya secara aktif
dalam proses peradilan pidana, korban bisa mendapatkan kembali harga diri
dan kepercayaan dirinya. Akan tetapi, dengan adanya keterlibatan korban
mempunyai segi positif dalam penegakan hukum, dan juga mempunyai segi
negatif karena partisipasi aktif korban dalam pelaksanaan proses peradilan
pidana dapat menyebabkan kepentingan pribadi terletak di atas kepentingan
umum. Namun demikian secara historis, teori dimaksud merupakan latar
belakang terhadap terbentuknya lembaga kejaksaan, sebagaimana dikatakan
oleh Jan JM Van Dijk, The Hague, bahwa: “Historically this has been the main
justification for the estabilishment of the office of the public prosecutor”.6 Lebih jauh
3Ibid, hlm. 96
4Andrew Ashworth, Victim Impact Statements and Sentencing, The Criminal
Law Review, Agustus 1993, hlm. 503
5Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Alumni,
Bandung, 1992, hlm. 78
6H. Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan
Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Penerbit Refika Aditama,
Bandung, 2007, hlm. 63
3
lagi, alasan lain dikemukakan kelompok yang menentang diberikannya hak
prosedural kepada korban adalah dengan diberikannya peran individual
kepada korban dalam proses persidangan atau penuntutan terhadap pelaku,
berarti membuatnya ikut bertanggung jawab atas jalannya persidangan serta
hasil dari proses itu sehingga beban tanggung jawab ini akan menjadi
tekanan yang cukup berat bagi korban dalam berbagai segi. Tekanan bisa
muncul dari orang dengan siapa korban melakukan kontak dan/atau
disebabkan oleh polisi atau jaksa yang akan memanfaatkan hak-haknya
untuk kepentingan umum. Pelaku dan pengacaranya akan berusaha
mempengaruhi tingkah laku korban selama proses dan kadang dengan
menggunakan intimidasi. Kedua, model pelayanan (the services model) yang
menekankan pada pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi,
restitusi dan upaya pengambilan kondisi korban yang mengalami trauma,
rasa takut dan tertekan akibat kejahatan. Apabila diperbandingkan, ternyata
baik model hak-hak prosedural maupun model pelayanan masing-masing
mempunyai kelemahan. Model hak-hak prosedural ini dapat menempatkan
kepentingan umum di bawah kepentingan individual si korban, di samping
suasana peradilan yang bebas dan dilandasi asas praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) dapat terganggu oleh pendapat korban tentang
pemidanaan yang dijatuhkan karena didasarkan atas pemikiran yang
emosional sebagai upaya untuk mengadakan pembalasan. Selain hal di atas,
yang menetapkan Jaksa Penuntut Umum mewakili korban maka acapkali
dalam prakteknya, aspirasi korban dalam proses peradilan pidana kurang
diperhatikan sehingga menimbulkan ketidakpuasan dari dan atau
keluarganya terhadap tuntutan jaksa dan putusan hakim. Aspek ini salah
satunya dipicu karena secara prosedural korban tidak mempunyai peluang
untuk menyatakan ketidakpuasannya terhadap tuntutan jaksa dan putusan
hakim.7 Berkorelatif dengan hal tersebut maka dalam kongres PBB tanggal 26
Agustus sampai dengan tanggal 6 September 1985, di Milan, Italia
merekomendasikan tentang Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power pada angka 6 b menentukan bahwa:
“Allowing the views and concerns of victims to be presented and considered
at appropriate stages where their personal interests are effected, without
prejudice to the accused and consistent with the relevant national criminal
justice”.
Sebagai lembaga yang mewakili korban kejahatan seharusnya Jaksa
Penuntut Umum dalam tuntutan pidananya lebih banyak menguraikan
penderitaan korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
sehingga pengajuan tuntutan pidana hendaknya didasarkan kepada keadilan
dari kaca mata korban sehingga cenderung menuntut hukuman yang relatif
tinggi, sedangkan terdakwa dan atau penasihat hukumnya berhak memohon
hukuman yang seringan-ringannya, atau kalau memungkinkan mohon agar
terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan
putusan hakim yang berupa pemidanaan (veroordeling) haruslah pula
7 H. Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan...., Ibid.
4
mengandung anasir yang bersifat kemanusiaan, edukatif dan keadilan.
Tegasnya, mengandung unsur moral justice, sosial justice dan legal justice.
Dengan melihat apa yang telah penulis uraikan di atas maka tulisan
singkat berikut yang berjudul, “Upaya hukum yang dilakukan korban kejahatan
dikaji dari perpektif sistem peradilan pidana dalam putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia”, ini akan menguraikan lebih jauh bagaimana pandangan
Mahkamah Agung yang tercermin dalam beberapa putusannya mensikapi
adanya upaya hukum yang dilakukan oleh korban kejahatan.
II. Pengaturan Korban Kejahatan Dalam Hukum Positif Dan Upaya
Hukum Yang Dilakukan Oleh Korban Kejahatan Dalam Putusan
Mahkamah Agung
Apabila dicermati lebih terperinci ternyata perlindungan korban
kejahatan bersifat perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung
yang dirumuskan dalam kebijakan formulatif yaitu perlindungan abstrak
dimana cenderung mengarah pada perlindungan masyarakat dan individu.
Korban sebagai pihak yang dirugikan oleh suatu kejahatan terisolir atau tidak
mendapat perhatian sama sekali, terlebih lagi dengan meningkatnya
perhatian terhadap pembinaan nara pidana yang sering ditafsirkan sebagai
sesuatu yang tidak berkaitan dengan pemenuhan kepentingan korban, maka
tidak mengherankan jika perhatian kepada korban semakin jauh dari
peradilan pidana yang oleh Sthepen Schafer dikatakan sebagai cinderella dari
hukum pidana. Tegasnya, perlindungan terhadap korban kejahatan penting
eksistensinya oleh karena penderitaan korban akibat suatu kejahatan
belumlah berakhir dengan penjatuhan dan usainya hukuman kepada pelaku.
Dengan titik tolak demikian maka sistem peradilan pidana hendaknya
menyesuaikan, menselaraskan kualitas dan kuantitas penderitaan dan
kerugian yang diderita korban.8 Dalam Sistem Peradilan Indonesia maka
kesan keterasingan korban juga dapat dirasakan sebagaimana terlihat masih
kurangnya pembahasan terhadap korban, peraturan hukum pidana juga
belum sepenuhnya mengatur tentang korban beserta haknya sebagai pihak
yang dirugikan dan lain sebagainya. Secara selintas maka pengaturan korban
kejahatan dalam hukum positif menurut sistem peradilan pidana Indonesia
meliputi ketentuan Pasal 14 c ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang berbunyi selengkapnya sebagai berikut:
“Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14 a kecuali dalam hal dijatuhkan
pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang
dipidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang
dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana
itu, semuanya atau sebagian saja, yang akan ditentukan pada perintah yang
ditentukan pada itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.”
Ketentuan sebagaimana tersebut di atas mensiratkan bahwa ada
perlindungan abstrak atau tidak langsung yang diberikan undang-undang
8 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi,
Penerbit PT Djambatan, Jakarta, 2007, hlm. 122-123
5
sebagai kebijakan formulatif kepada korban kejahatan. Perlindungan tersebut
meliputi penjatuhan hukuman oleh hakim dengan penetapkan syarat umum
dan syarat khusus berupa ditentukan terpidana mengganti kerugian yang
ditimbulkan kepada korban. Akan tetapi ternyata aspek ini sifatnya abstrak
atau perlindungan tidak langsung karena sifat syarat khusus tersebut berupa
penggantian kerugian adalah fakultatif, tergantung penilaian hakim. Oleh
karena itu, dengan asas keseimbangan individu dan masyarakat (asas
monodualistik) seharusnya perlindungan terhadap korban kejahatan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sifatnya imperatif. Kemudian
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah dimulai adanya perlindungan korban
secara individu, dengan tetap melakukan pembinaan kepada pelaku
kejahatan. Perlindungan korban dalam konteks ini berarti tetap
menempatkan kepentingan korban sebagai salah satu bagian mutlak yang
dipertimbangkan dalam proses penyelesaian perkara pidana seperti korban
memungkinkan untuk mengontrol suatu perkara yang menempatkan dirinya
sebagai korban yaitu dapat melakukan upaya pra peradilan, jika suatu
perkara dihentikan penyidikan atau penuntutannya. Hal tersebut merupakan
salah satu bentuk perlindungan karena diberikannya hak kontrol ini dapat
memberi jaminan bahwa perkara pidana dimaksud dapat diselesaikan
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Lebih jauh lagi, selain itu
KUHAP juga memberi peluang kepada korban untuk mengajukan gugatan
ganti kerugian yang digabungkan dengan perkara pidana bersangkutan
sebagaimana ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Dimensi
ini konkretnya merupakan awal diperhatikannya korban dalam proses
pidana. Seorang korban dari suatu kejahatan dapat hadir dalam proses
pemeriksaan perkara pidana dengan dua kualitas yang berbeda. Di satu sisi
kehadiran korban dalam pemeriksaan perkara pidana berfungsi sebagai saksi
guna memberikan kesaksian dalam mengungkapkan kejahatan yang sedang
dalam proses pemeriksaan, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan
maupun pemeriksaan di persidangan pengadilan. Di lain sisi fungsi korban
dalam proses perkara pidana adalah mengajukan gugatan ganti kerugian atas
penderitaan dan kerugian yang dialami sebagai akibat kejahatan. Selain itu,
korban dalam kapasitasnya sebagai saksi bersifat pasif dalam artian korban
hanya hadir bila diminta dan juga perannya terbatas hanya memberikan
keterangan mengenai sesuatu yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri.
Selain itu maka perlindungan korban di luar KUHP dan KUHAP terdapat
dalam beberapa peraturan hukum pidana, seperti dalam ketentuan Tindak
Pidana Ekonomi (UU Nomor 7/drt/1955), Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UU Nomor 23 Tahun 1997), Praktik Monopoli (UU Nomor 5 Tahun 1999),
Perlindungan Konsumen (UU Nomor 8 Tahun 1999) dan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun
2001). Berdasarkan ketentuan UU Nomor 7/drt/1955 tentang Tindak Pidana
Ekonomi maka indikasi pemberian perlindungan kepada korban berupa jenis
pidana “tindakan tata tertib” sehingga kerugian negara atau masyarakat baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat dikembalikan kepada negara.
6
Logika pemikiran pembentuk undang-undang sebagai kebijakan formulatif
berasumsi bahwa hukum pidana sebagai alat ampuh dan memadai dalam
menanggulangi kesulitan ekonomi, akan tetapi kenyataannya perekonomian
Indonesia waktu itu bukanlah menjadi baik, meskipun di satu sisi kebijakan
formulatif memberi ancaman pidana yang sangat berat. Kemudian dalam
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup maka sekelompok masyarakat atau masyarakat luas
diberi hak untuk mengajukan gugatan atas dasar perwakilan kelompok (class
action) dan Pasal 47 memberikan perlindungan kepada masyarakat yang
menjadi korban tindak pidana lingkungan hidup terhadap pelakunya dapat
pula dikenakan tindakan tata tertib. Selanjutnya, upaya perlindungan korban
yang bersifat abstrak dari kebijakan formulatif dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana dalam Pasal
19 disebutkan bahwa:
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara lainnya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pada hakikatnya, pemberian ganti rugi tanpa menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana sebagaimana dimaksud di atas
mencerminkan adanya upaya perlindungan korban tanpa orientasi pada
pelaku kejahatan sebagaimana dianut oleh hukum positif Indonesia. Akan
tetapi, apabila dicermati tentang ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 maka sistem perumusan sanksi pidana (strafsoort) masih
nampak adanya orientasi kepada pelaku tindak pidana (offender oriented) dan
tidak dapat diharapkan adanya perlindungan terhadap korban sebagai
konsumen. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, upaya
perlindungan korban nampak adanya pidana minimal khusus sehingga dapat
dihindarkan penjatuhan pidana yang terlalu ringan, sedangkan sanksi berupa
pembayaran ganti rugi digolongkan dalam sanksi adminstratif. Akan tetapi
dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
7
Tindak Pidana Korupsi yang menentukan “pembayaran uang pengganti yang
jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi”, merupakan pidana tambahan yang juga bermaksud
atau sebagai upaya perlindungan terhadap korban kejahatan.
Apabila ditarik “benang merah” apa yang telah penulis uraikan maka
perlindungan terhadap korban kejahatan terasa begitu minim sehingga
perlindungannya bersifat abstrak/semu dan perlindungan tidak langsung
dimana menurut Arif Gosita disebutkan bahwa adanya hak-hak korban9,
yang dapat berupa:
 Korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya
sesuai dengan kemampuan memberi kompensasi si pembuat
korban dan taraf keterlibatan/partisipasi/peranan si korban dalam
terjadinya kejahatan, dengan linkuensi dan penyimpangan
tersebut.
 Berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban
(tidak mau diberi kompensasi karena tidak memerlukannya).
 Berhak mendapat kompensasi untuk ahli warisnya bila si korban
meninggal dunia karena tindakan tersebut.
 Berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi.
 Berhak mendapat kembali hak miliknya.
 Berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat
korban bila melapor dan menjadi saksi.
 Berhak mendapatkan bantuan penasihat hukum.
 Berhak mempergunakan upaya hukum (recht middelen).10
Sedangkan, terhadap aspek ini maka J.E. Sahetapy juga menentukan hakhak
korban berupa:
 mendapat pelayanan (bantuan, restitusi, kompensasi)
 menolak pelayanan untuk ahli warisnya
 mendapat kembali hak miliknya
 menolak menjadi saksi apabila tidak ada perlindungan terhadap
dirinya
 mendapat perlindungan terhadap ancaman pihak pelaku apabila
pelapor menjadi saksi
 mendapat informasi mengenai permasalahan yang dihadapinya
9Pada dasarnya hak-hak korban dalam KUHAP meliputi tiga dimensi,
yaitu: Pertama, hak untuk mengajukan keberatan terhadap tindakan penyidikan
dan/atau penghentian penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan (Pasal 109 dan 140 ayat (2) KUHAP). Kedua, hak korban yang
berkaitan dengan kedudukannya sebagai saksi berupa mengundurkan diri
berdasarkan Pasal 168 KUHAP dan hak bagi keluarga korban, dalam hal korban
meninggal dunia, untuk mengijinkan atau tidak mengijinkan tindakan polisi untuk
melakukan bedah mayat atau penggalian kubur untuk otopsi (Pasal 134-136
KUHAP). Ketiga, hak untuk menuntut ganti kerugian terhadap akibat kejahatan
dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang dirugikan (Pasal 98-101 KUHAP).
10Arif Gosita, Loc. Cit.
8
 dapat melangsungkan pekerjaannya
 mendapat pelayanan yang layak sewaktu sebelum persidangan,
selama persidangan, dan setelah persidangan
 mendapat bantuan penasihat hukum
 menggunakan upaya hukum.11
Menurut Arief Gosita dan J.E. Sahetapy maka hak korban berupa
mempergunakan upaya hukum (recht middelen) dalam ketentuan
perundangan-undangan merupakan perlindungan korban kejahatan dalam
ruang lingkup prosedural seperti ketentuan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu dimungkinkan
korban kejahatan yang berupa masyarakat secara kolektif melalui upaya
hukum berupa gugatan perwakilan secara kelompok (class action).
Perlindungan korban kejahatan dalam melakukan upaya hukum
eksistensinya sangat penting mengingat berdasarkan kajian emperik ternyata
reaksi korban terhadap putusan pengadilan yang dinilai tidak sesuai dengan
rasa keadilan sedangkan dari dimensi lain ternyata korban sendiri tidak dapat
berbuat sesuatu untuk menguji putusan karena hukum yang ada tidak
memberikan peluang untuk melakukan upaya hukum terhadap putusan
pengadilan. Bertolak dari dimensi di atas maka kiranya ada kendala
diwujudkan perlindungan korban melalui hak-hak prosedural. Namun
demikian pengaturan hak-hak prosedural dapat ditempuh dengan
pengaturan yang tegas tentang hakikat kewenangan jaksa penuntut umum
yang pada dasarnya merupakan pihak yang mewakili kepentingan korban
baik masyarakat secara kolektif maupun secara individual. Dalam kaitan
dengan hak-hak prosedural korban kejahatan dapat mengacu pada hak
korban untuk mengajukan pra peradilan terhadap penghentian penyidikan
maupun penuntutan sebagaimana dikenal dalam hukum positif Indonesia.
Bertitik tolak pada aspek tersebut maka idealnya dalam menentukan
penuntutan kepada pelaku kejahatan perlu disertakan korban untuk
memberikan pendapatnya. Demikian pula halnya dalam menilai putusan
pengadilan apakah telah sesuai rasa keadilan ataukah belum, dimintakan
pendapat korban dengan syarat pendapat tersebut harus telah diterima oleh
jaksa penuntut umum dalam waktu yang lebih pendek dari batas akhir
mengajukan permohonan banding. Selain itu pula, upaya perlindungan
terhadap korban dapat juga dilakukan melalui penyerderhanaan dalam
proses peradilan pidana yang menurut hukum positif di Indonesia ada tiga
tingkat yakni peradilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri), pengadilan
tingkat kedua atau peradilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi), dan
peradilan tingkat kasasi (Mahkamah Agung RI), bahkan ditambah lagi
dengan upaya hukum luar biasa yaitu kasasi demi kepentingan hukum dan
permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Dikaji dari
perspektif perlindungan kepada pelaku, proses dimaksud memang sangat
11J.E. Sahetapy, Victimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1987, hlm. 189
9
menguntungkan guna memperoleh pengujian terhadap putusan pengadilan
yang lebih rendah, tetapi dipandang dari sudut perlindungan korban, proses
peradilan demikian merupakan waktu tunggu yang sangat melelahkan,
terkait dengan beban psikologis yang dialami sebagai akibat tindak pidana
dimaksud. Kemudian dalam ketentuan normatif yaitu Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka untuk
pengertian korban dipergunakan terminologis yang berbeda-beda yaitu
sebagai pelapor (Pasal 108 KUHAP), pengadu (Pasal 72 KUHP), saksi korban
(Pasal 160 KUHAP), pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 80, 81 KUHAP),
dan pihak yang dirugikan (Pasal 98, 99 KUHAP). Kemudian kenyataan
prakteknya hanya upaya hukum berupa permohonan Peninjauan Kembali
dapat dilakukan oleh “korban kejahatan” dengan kualitas sebagai saksi
korban, pihak ketiga yang berkepentingan, Penasihat Hukum maupun oleh
Jaksa Penuntut Umum yang termaktub dan diputus oleh Mahkamah Agung
RI.
Pada kasus Peninjauan Kembali yang dilakukan oleh Dr. Muchtar
Pakpahan, SH, MA maka “Jaksa Penuntut Umum” diperkenankan
melakukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali terhadap Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor: 395 K/Pid/1995 tanggal 29 September 1995 yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) begitu pula Jaksa Penuntut
Umum melakukan Upaya hukum Peninjauan Kembali dalam kasus The
Gandhi Memorial School terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 02
K/Pid/1995 tanggal 8 Juni 1995 yang telah berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde). Pada dasarnya, putusan Peninjauan Kembali dikaji
dari perspektif teoritik dan praktek menimbulkan pelbagai penafsiran dan
komentar. Ada komentar yang bersifat pro akan tetapi tidak sedikit
menimbulkan komentar yang kontra dan bahkan dianggap putusan yang
bersifat kontroversial karena dianggap bertentangan dengan Pasal 263 ayat
(1) KUHAP.
Akan tetapi upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh
“korban kejahatan” (saksi korban Prof. DR. Dr. Ida Bagus Gede Manuaba,
SP.OG) terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1991 K/Pid/2001
tanggal 02 Juli 2002 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) dimana Mahkamah Agung RI melalui Putusan Nomor: 11
PK/PID/2003 tanggal 6 Agustus 2003, menyatakan permohonan Peninjauan
Kembali tersebut tidak dapat diterima dengan dasar pertimbangan sebagai
berikut:
1. Bahwa keberatan-keberatan peninjauan kembali yang diajukan oleh
pemohonan peninjauan kembali Prof. Dr. Dr. Ida Bagus Gede Manuaba,
Sp.OG tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena pemohon
peninjauan kembali adalah sebagai pihak korban yang tidak diberikan
wewenang mengajukan permohonan peninjauan kembali, oleh Pasal
263 ayat (1) KUHAP, dimana permohonan peninjauan kembali hanya
dapat diajukan oleh terpidana atau wakilnya ;
10
2. Bahwa pemohon peninjauan kembali dalam perkara ini adalah saksi
pelapor yang tidak diberikan wewenang untuk mengajukan peninjauan
kembali, bukan terpidana atau ahli warisnya, maka alasan-alasan
peninjauan kembali lainnya tidak perlu dipertimbangkan lagi ;
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka
permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali
tidak cukup beralasan oleh karena itu harus dinyatakan tidak dapat
diterima.
Kemudian korban kejahatan dalam kapasitasnya sebagai “pihak ketiga
yang berkepentingan” kasus H. Iskandar Hutualy selaku Ketua DPD I IKBLA
Arif Rahman Hakim Exponen 66 Samarinda melakukan upaya hukum
peninjauan kembali dan diputus oleh Mahkamah Agung dalam Putusan
Nomor: 4 PK/PID/2000 tanggal 28 November 2001, dimana formalitas
korban sebagai “pihak ketiga yang berkepentingan” dipertimbangkan sebagai
berikut:
1. Formalitas permintaan Peninjauan Kembali a quo diatur dalam Pasal
263 ayat (1) KUHAP yang intinya terhadap putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap berupa putusan pemidanaan
hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan peninjauan
kembali. Sebelum ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP berlaku maka
sudah ada ketentuan Pasal 9 ayat (1) jo Pasal 10 ayat (1) Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali
atas putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus
diajukan oleh Jaksa Agung atau oleh terpidana atau pihak yang
berkepentingan termasuk ahli warisnya.
2. Permohonan pra peradilan yang diajukan oleh pemohon sebagai “Pihak
ketiga yang berkepentingan” ex Pasal 80 KUHAP terhadap apakah
dapat diterima maka pembentuk undang-undang tidak memberi
tafsiran otentik tentang pengertian “Pihak ketiga yang berkepentingan”
dalam Pasal 80 KUHAP, sebagai penafsiran otentik tentang penyidik
(Pasal 1 angka 3 KUHAP) dan Penuntut Umum (Pasal 1 angka 6 huruf b
KUHAP) maka secara a contrario interminis istilah penyidik dan
Penuntut Umum dan atau orang yang memperoleh hak darinya
termasuk pemohon pra peradilan selaku baik seorang warga negara
maupun Ketua Lembaga Masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban
untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran demi kepentingan
masyarakat luas/umum.
3. Berdasarkan ketentuan asas legalitas dan asas pengawasan harizontal
serta ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 maka
mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap
tentang cara menyelesaikan suatu soal yang tidak atau belum diatur
oleh undang-undang. Untuk mengisi kekosongan, kekurangan hukum
maka Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengenai pemohon Peninjauan
Kembali oleh hanya terpidana atau ahli warisnya dalam perkara pidana
ini mesti dilenturkan berdasarkan kekurangan dan kekosongan hukum
sekaligus suatu kebutuhan dalam acara, sehingga mencakup juga
11
pemohon Peninjauan Kembali oleh “Pihak Ketiga yang berkepentingan”
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 80 KUHAP atau “Pihak ketiga
yang berkepentingan” dalam Pasal 26 UU Nomor 14 Tahun 1970 atau
Jaksa Agung atau pihak yang berkepentingan lainnya dalam Pasal 10
ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980.
4. Bahwa berdasarkan asas legalitas dan asas pengawasan harizontal
dalam Pasal 80 KUHAP serta ketentuan Pasal 79 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 berikut penjelasan asasnya maka dalam acara
pemeriksaan Peninjauan Kembali untuk memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan permohonan praperadilan ini Mahkamah Agung
berlandaskan kebutuhan dan kekosongan hukum sehingga
berakibatkan ketidakpastian hukum sekaligus merupakan suatu
kebutuhan dalam acara pemeriksaan permintaan Peninjauan Kembali
atas permohonan pra peradilan maka ketentuan Pasal 263 ayat (1)
KUHAP mengenai istilah putusan pengadilan mesti dilenturkan
kembali hingga mencakup keputusan Pengadilan (dalam Pasal 156 ayat
1 KUHAP, Pasal 81 KUHP) serta putusan praperadian (Pasal 77 s/83
KUHAP) dan bukan sekedar putusan pemidaan yang telah berkekuatan
tetap dan oleh karen itu permohonan Peninjauan Kembali H. Iskandar
Hutualy sebagai pribadi maupun selaku Ketua DPD I IKBLA Arief
Rahman Hakim Eksponen 66 Samarinda secara formal mesti diterima.
5. Bahwa kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata (Pasal 263
ayat (2) huruf c KUHAP) juga terletak dalam pertimbangan hukum dari
putusan pra peradilan judex facti (Pengadilan Tinggi) yang antara lain
menyatakan pihak ketiga yang berkepentingan sbagaimana ditentukan
dalam Pasal 80 KUHAP adalah saksi korban dalam peristiwa pidana
yang dirugikan langsung, sebab sesuai dengan asas pengawasan
horizontal dalam Penjelasan Pasal 80 KUHAP yang implikasinya untuk
menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran dapat dilaksanakan
secara efektif dengan berperan sertanya (partisipasi) masyarakat luas
maka “istilah pihak ketiga yang berkepentingan” tidak mesti dibatasi hanya
kepada saksi korban dalam peristiwa pidana dan yang dirugikan
langsung, melainkan setiap orang baik manusia pribadi (natuurlijke
persoon, natural person) maupun badan hukum (rechterlijke persoon,
legal person), kecuali Penyidik dan Penuntut Umum (yang dalam teks
Pasal 80 KUHAP Penyidik dan Penuntut Umum ditempatkan sebelum
istilah pihak ketiga yang berkepentingan) sehingga termasuk pemohon
praperadilan.
Dari kasus di atas ternyata “korban kejahatan” dalam kapasitasnya
sebagai “pihak ketiga yang berkepentingan” dan yang dilakukan oleh “jaksa
penuntut umum” diperkenankan dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung
melakukan upaya hukum peninjauan kembali, sedangkan terhadap “korban
kejahatan” berupa “saksi korban”, atau “saksi pelapor” oleh Mahkamah
Agung Republik Indonesia menyatakan permohonan tersebut tidak dapat
diterima karena secara kualitas dan normatif pemohon peninjauan kembali
mempunyai kapasitas yuridis.
12
III. Penutup
Pada dasarnya ketentuan Hukum Positif di Indonesia memberikan
perlindungan terhadap korban kejahatan yang bersifat tidak langsung baik
dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maupun dalam Undang-
Undang Nomor: 7/drt/1955, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yo Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001. Kemudian dalam kebijakan formulatif yaitu Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka untuk
pengertian korban dipergunakan terminologis yang berbeda-beda yaitu
sebagai pelapor (Pasal 108 KUHAP), pengadu (Pasal 72 KUHP), saksi korban
(Pasal 160 KUHAP), pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 80, 81 KUHAP),
dan pihak yang dirugikan (Pasal 98, 99 KUHAP). Kemudian kenyataan
prakteknya permohonan Peninjauan Kembali dilakukan oleh pemohon
dengan kualitas sebagai saksi korban, pihak ketiga yang berkepentingan,
Penasihat Hukum maupun oleh Jaksa Penuntut Umum dan ternyata hanya
upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh Penuntut Umum dan
Pihak Ketiga yang berkepentingan yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung
sedangkan untuk permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan pemohon
saksi korban atau saksi pelapor oleh Mahkamah Agung dinyatakan tidak
diterima oleh karena pemohon bukan berkualitas melakukan permohonan
Peninjauan Kembali. Dari dimensi teoretis ternyata Mahkamah Agung
melakukan penafsiran berbeda sebagaimana ditentukan Pasal 263 ayat (1)
KUHAP yaitu dengan dikabulkannya pemohon Peninjauan Kembali yang
dilakukan oleh Penuntut Umum dan Pihak Ketiga yang berkepentingan di
satu sisi sedangkan di sisi lainnya permohonan dari pemohon Peninjauan
Kembali yang berkualitas saksi korban atau saksi pelapor dinyatakan tidak
dapat diterima dengan perbagai pertimbangan yang telah diuraikan di atas
yang bersifat sumir, sederhana dan singkat.****
DAFTAR PUSTAKA
Ali Boediarto, Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung Tentang
Hukum Pidana, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, 2000
Andrew Ashworth, Victim Impact Statements and Sentencing, The Criminal
Law Review, Agustus 1993
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), PT. Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta, 2004
Edwin H. Sutherland dan Donal R. Cassey, Principles of Criminology, New
York: Lippincott Company, 1974
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritik Dan Praktik
Peradilan Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem Peradilan Dan Kebijakan
13
Pidana, Filsafat Pemidanaan Serta Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh
Korban Kejahatan, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 2007
------------------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi,
Penerbit PT Djambatan, Jakarta, 2007
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Alumni,
Bandung, 1992
J.E. Sahetapy, Victimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1987