Jumat, 28 Agustus 2009

ASSET RECOVERY

 

PENGEMBALIAN ASET (ASSET RECOVERY) PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG KORUPSI INDONESIA PASCA KONVENSI PBB ANTI KORUPSI 2003

 

OLEH:

DR. LILIK MULYADI, S.H., M.H.

 

 

  1. JUSTIFIKASI MENGAPA PENGEMBALIAN ASET PENTING DALAM KONTEKS PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

          Pada hakikatnya, pengembalian aset (asset recovery) pelaku tindak pidana korupsi sangat penting eksistensinya. Apabila dijabarkan lebih sistimatis maka ada beberapa argumentasi sebagai justifikasi teoretis dan praktik mengapa pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi tersebut penting eksistensinya dengan titik tolak :

          • Justifikasi filosofis

           Pada aspek ini maka pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi dapat terdiri dari benda tetap maupun benda bergerak atau dapat pula berupa uang hasil korupsi baik yang berada di dalam negeri (Indonesia) maupun di luar negeri. Dari dimensi ini, maka aset tersebut hakikatnya merupakan uang negara in casu adalah berasal dari dana masyarakat. Pada negara berkembang, di satu sisi sebagaimana dimensi Stolen Asset Recovery Inisiative tidak kurang setiap tahunnya sekitar 20-40 Milyar US $  aset yang dicuri. Kemudian di sisi lainnya, pada negara berkembang mengalami hambatan karena tidak adanya regulasi yang mengatur perampasan harta benda tanpa melalui proses peradilan pidana (non conviction base) sehingga diperlukan adanya pengaturan non conviction base stolen asset recovery yang mengatur mekanisme hukum tentang pembekuan (freezing), perampasan (seizure) dan penyitaan (confiscation) harta benda tanpa perlu dibuktikan keterlibatan dalam perkara pidana dimana proses ini dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi Indonesia Tahun 2008 dikenal tindakan berupa penelusuran, penggeledahan, pemblokiran, penyitaan dan perampasan yang berupa perampasan In Rem dan perampasan pidana. Logikanya dengan pelaku melakukan pengembalian aset diharapkan akan berdampak langsung untuk memulihkan keuangan negara atau perekonomian negara yang akhirnya bermuara kepada kesejahteraan masyarakat.[1] Apabila bertitik tolak kepada kebijakan legislasi pada hakikatnya korupsi terjadi secara sistemik dan meluas serta juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas. Konsekuensi logisnya maka untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera tersebut harus ada suatu tindakan secara terus menerus serta juga tak dapat dikesampingkan adalah usaha-usaha yang bersifat  pencegahan (preventif), pemberantasan tindak pidana korupsi (represif) dan pendekatan bersifat restorative.[2] Tindakan preventif diartikan untuk membangun persepsi publik bahwa tidak ada tempat aman di di dunia bagi pelaku tindak pidana korupsi untuk menyembunyikan aset-asetnya. Kemudian tindakan represif diartikan bagaimana pelaku dijatuhkan pidana sesuai asas keadilan dan pemidanaan bersifat proforsional sesuai dengan kadar kesalahannya. Tindakan restorative yang salah satunya adalah pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi berupa tindakan hukum pidana, gugatan perdata berupa perampasan In Rem yaitu tindakan negara mengambil alih aset melalui putusan pengadilan dalam perkara perdata berdasarkan bukti-bukti yang lebih kuat bahwa aset tersebut diduga berasal dari tindak pidana atau digunakan untuk tindak pidana maupun kerjasama internasional dalam bantuan timbal balik masalah pidana (mutual assistance in criminal matters) antara negara korban korupsi atau negara asal (country of origin) dan negara penyimpan aset korupsi atau negara ketempatan (custodial state).

          • Justifikasi sosiologis

            Dikaji dari perspektif ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat. Dalam kenyataannya ada perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar sehingga berdampak pada timbulnya krisis di pelbagai bidang. Tegasnya, berdasarkan data kerugian keuangan negara maka dapat dikatakan bahwa Indonesia sebagai negara korban korupsi. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjungjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Selain itu dengan adanya pemberantasan korupsi yang salah satunya melalui pengembalian aset maka akan berdampak luas pada masyarakat. Konkritnya, masyarakat akan melihat dan menilai kesungguhan dari penegak hukum tentang pemberantasan korupsi dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), asas kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law) dan asas kepastian hukum (recht zekerheids). Selain itu, justifikasi sosiologis ini merupakan wujud nyata dan peran serta kebijakan legislasi dan aplikasi untuk memberikan ruang gerak lebih luas terhadap adanya kerjasama antara aparat penegak hukum dengan peran serta masyarakat sebagaimana diamanatkan ketentuan Pasal 41 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.

 

          • Justifikasi yuridis praktis

            Ketentuan UU Pemberantasan Korupsi memberikan ruang gerak dan dimensi lebih luas baik bagi penegak hukum, masyarakat dan segala lapisan untuk lebih komprehensif dalam menanggulangi akibat dan dampak dari perbuatan korupsi. Oleh karena itu kebijakan legislasi memberikan ruang dalam pemberantasan korupsi dapat dilakukan melalui tindakan kepidanaan (criminal procedure) dan tindakan keperdataan (civil procedure). Pada hakikatnya, aspek pengembalian aset tindak pidana korupsi melalui prosedur pidana dapat berupa penjatuhan pidana kepada pelakunya seperti pidana denda maupun terdakwa dihukum untuk membayar uang pengganti. Selain anasir itu maka terhadap pengembalian aset tindak pidana korupsi dapat juga melalui gugatan secara perdata di Pengadilan Negeri.

              Apabila jalan ini yang akan ditempuh hakikatnya keberhasilan pengembalian aset diharapkan relatif lebih tinggi karena pembuktian dari hukum perdata semata-mata mencari kebenaran formal (formeele waarheid). Dengan adanya jalinan dua tindakan dalam tindak pidana korupsi berupa pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi dengan melalui tindakan kepidanaan dan tindakan keperdataan diharapkan keadilan masyarakat dapat tercapai. Aspek ini harus dipahami lebih mendalam oleh karena sifat dari tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana yang luar biasa sehingga pemberantasannyapun tidak dapat dilakukan secara parsial akan tetapi bersifat integral. Dengan adanya jalinan kerjasama bersifat integral tersebut diharapkan nantinya penanggulangan korupsi relatif mendapatkan hasil seoptimal mungkin.

          

  1. PENGEMBALIAN ASET PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF UU NOMOR 31 TAHUN 1999 Jo. UU NOMOR 20 TAHUN 2001

        Dalam perkara korupsi sebagaimana UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 diatur mengenai  pengembalian  aset  hasil   tindak  pidana korupsi baik melalui jalur keperdataan (civil procedure) berupa gugatan perdata maupun jalur kepidanaan (criminal procedure). Pengembalian aset (asset recovery) pelaku tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata secara runtun diatur dalam ketentuan Pasal 32,[3]  Pasal 33[4] dan Pasal 34[5] serta Pasal 38C[6] UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Kemudian melalui jalur kepidanaan sebagaimana ketentuan Pasal 38 ayat (5),[7] Pasal 38 ayat (6)[8] dan Pasal 38B ayat (2)[9] dengan proses penyitaan dan perampasan. Ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas memberikan kewenangan kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya baik ditingkat penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

             Apabila diperinci pengembalian aset dari jalur kepidanaan ini dilakukan melalui proses persidangan dimana hakim di samping menjatuhkan pidana pokok[10] juga dapat menjatuhkan pidana tambahan. Apabila diperinci maka pidana tambahan dapat dijatuhkan hakim dalam kapasitasnya yang berkorelasi dengan pengembalian aset melalui prosedur pidana ini dapat berupa:

    1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. (Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001).
    2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam UU ini lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. (Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001).
    3. Pidana denda dimana aspek ini dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempergunakan perumusan sanksi pidana (strafsoort) bersifat kumulatif (pidana penjara dan atau pidana denda), kumulatif-alternatif (pidana penjara dan atau pidana denda) dan perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) bersifat determinate sentence dan indifinite sentence.[11]
    4. Penetapan perampasan barang-barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal dunia (peradilan in absentia) sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana korupsi. Penetapan hakim atas perampasan ini tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding dan setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan tersebut dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman. (Pasal 38 ayat (5), (6), (7)  UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001).
    5. Putusan perampasan harta benda untuk negara dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi yang dituntut oleh Penuntut Umum pada saat membacakan tuntutan dalam perkara pokok. (Pasal 38B ayat (2), (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001).

               Kemudian pengembalian aset tindak pidana korupsi melalui jalur keperdataan dapat dilakukan melalui aspek-aspek sebagai berikut:

  1. Gugatan perdata kepada seseorang yang tersangkut perkara korupsi. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Konstruksi ketentuan pasal ini banyak menimpulkan problematika. Salah satu yang esensial adalah tidak jelasnya status dari orang yang digugat perdata tersebut apakah sebagai pelaku, tersangka atau terdakwa. Apabila mengikuti alur polarisasi pemikiran pembentuk UU maka berkas hasil penyidikan yang diserahkan kepada Jaksa Pengacara Negara untuk digugat perdata adalah selain bagian inti delik telah adanya kerugian keuangan negara yang telah terbukti maka walaupun bagian inti delik lainnya  ataupun putusan bebas walaupun tidak terbukti tetap dapat dilakukan gugatan perdata. Selintas ketentuan pasal tersebut mudah dilakukan akan tetapi pada praktiknya banyak mengandung kompleksitas. Tegasnya, yang paling elementer apabila dilakukan gugatan perdata tentu berdasarkan adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat, akan tetapi kompleksitasnya dapatkah negara melalui Jaksa Pengacara Negara membuktikan tentang adanya kerugian negara tersebut berdasarkan alat-alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 164 HIR, 284 RBg dan Pasal 1866 Kitab UU Hukum Perdata (KUHP). Memang, dari dimensi kebijakan legislasi dan praktik peradilan ketentuan pasal tersebut mengandung problematika. Pasca KAK 2003 maka kebijakan legislasi akan dihadapkan adanya perumusan tindak pidana korupsi yang tidak mempermasalahkan lagi adanya unsur kerugian keuangan negara oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 20 KAK 2003 sebagaimana diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 dimana tindak pidana korupsi berorientasi kepada perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit enrichment). Tegasnya, unsur kerugian negara bukan unsur penting sebagaimana redaksional ketentuan Pasal 3 butir 2 KAK 2003 tentang “scope application”, yang menegaskan bahwa, “For the purpose of implementating this Convention, it shall not be necessary except otherwise stated herein. For the offence...to result in damage or harm to State property”.
  2. Gugatan perdata kepada ahli waris dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya. (Pasal 33, Pasal 38B ayat (2), (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001).
  3. Gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya bila putusan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Ketentuan Pasal 34, Pasal 38B ayat (2), (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 menegaskan bahwa, “Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”

         Pada dasarnya, penegakan tindak pidana korupsi melalui hukum keperdataan lazim dilaksanakan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat melalui penyitaan (confiscation) terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dimensi ini secara tegas dikatakan Oliver Stolpe bahwa:

                     “Countries such as Italy, Ireland and the United States provide, under varying contitions, for the possibility of civil or preventive confiscation of assets suspected to be derived from certain criminal activity. Unlike confiscation in criminal proceedings, such forfeiture laws do not require proof of illicit origin “beyond reasonable doublt”. Instead, the consider proof on a balance of pribabilities or demand a high probability of illicit origin combined the inability of the owner to prove the contrary”.[12]

 

          Selain melalui jalur kepidanaan dan jalur keperdataan maka dalam praktik peradilan lazim juga terjadi pelaku melakukan tindakan lain berupa pengembalian aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi dimana modus operandi pengembalian tersebut dilakukan secara sukarela. Misalnya dalam praktik terjadi dalam perkara Abdullah Puteh sebagaimana telah diputus Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 1344 K/Pid/2005. Terhadap pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi tersebut baik melalui jalur kepidanaan dan jalur keperdataan serta praktik peradilan berupa tindakan lain sebagaimana dapat dilihat dalam bagan berikut ini.

 

 

 

 

 

 

Bagan Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi        

Pengembalian Aset Pelaku TPK

Prosedur Perdata

Prosedur Pidana

Prosedur  Lain

perampasan barang bergerak dan tidak bergerak yang digunakan / diperoleh dari tindak pidana korupsi

Pembayaran Uang pengganti

Pidana denda

Penetapan barang- barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal dunia

Putusan perampasan harta benda untuk Negara dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bukan dari tindak pidana korupsi

Gugatan perdata kepada ahli waris dalam hal tersangka meninggal  penyidikan

Gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya bila putusan telah berkekuatan hukum tetap

Pelaku tindak pidana korupsi mengembalikan aset secara sukarela

Gugatan perdata kepada seseorang yang tersangkut korupsi

 

 

 

 

 

 

                                                                                   

 

 

 

 

             

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. PENGEMBALIAN ASET PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA KONVENSI ANTI KORUPSI 2003 Jo UU NOMOR 7 TAHUN 2006

          Telah dijelaskan pembahasan terdahulu bahwa kebijakan legislasi pemberantasan korupsi mempunyai paradigma dan karakteristik tersendiri. Ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 mempunyai titik berat paradigma pemberantasan korupsi bersifat represif. Kemudian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggunakan pendekatan represif dan preventif. KAK 2003 Jo UU Nomor 7 Tahun 2006 menggunakan titik berat pendekatan yang bersifat preventif, represif dan pendekatan restorative. Dimensi ini mensiratkan bahwa pemberantasan korupsi harus bersifat integral, menyeluruh dan melalui pelbagai pendekatan.

            Pada KAK 2003 pendekatan bersifat restorative berupa pengembalian aset diatur dalam Bab V Pasal 51-58 tentang “Asset Recovery” merupakan prinsip mendasar yang diharapkan Negara-Negara peserta konvensi wajib saling memberikan kerjasama dan bantuan seluas-luasnya mengenai hal ini. KAK 2003 telah membuat terobosan besar  mengenai “Asset Recovery” yang meliputi sistem pencegahan dan deteksi hasil tindak pidana korupsi (Pasal 52), sistem pengembalian aset secara langsung dalam Pasal 53, sistem pengembalian aset secara tidak langsung dan kerjasama internasional untuk tujuan penyitaan (Pasal 55). Ketentuan esensial yang teramat penting dalam konteks ini adalah ditujukan khusus terhadap pengembalian aset-aset hasil korupsi dari negara ketempatan (custodial state) kepada negara asal (country of origin) aset korupsi. Pengembalian aset hasil korupsi melalui kerjasama internasional diberikan justifikasi normatif tentang “International Cooperation” (Pasal 43 s/d Pasal 50), termasuk di dalamnya ketentuan mengenai ekstradiksi, mutual assistance in criminal matters, transfer of proceedings, transfer of sentenced persons dan joint investigation. Implementasi dimensi ini nampak Pemerintah Indonesia telah mengesahkan perjanjian ekstradiksi dengan Pemerintah Korea Selatan, Malaysia, Australia, Thailand, Hong Kong, dan Fhilipina serta mengesahkan perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan pemerintah Pemerintah Australia, dan lain sebagainya. Strategi pengembalian aset ini secara eksplisit diatur dalam mukadimah KAK 2003 para 8 menentukan, bahwa:

          “Bertekad untuk mencegah, melacak dan menghalangi dengan cara yang lebih efektif transfer-transfer internasional atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah, dan untuk memperkuat kerjasama internasional dalam pengembalian aset.”

     

          Apabila dianalisis ternyata ketentuan konteks di atas berkorelasi dengan landasan filosofis mukadimah para 3 KAK 2003 tentang keterkaitan antara perbuatan korupsi dengan pembangunan berkelanjutan. Ketentuan Para 3 KAK 2003 secara eksplisit menentukan bahwa:

            “Prihatin atas keseriusan masalah-masalah dan ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, yang melemahkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum”.

  

          Pada KAK 2003 maka pengembalian aset dapat dilakukan melalui jalur pidana (aset recovery secara tidak langsung melalui criminal recovery) dan jalur perdata (aset recovery secara langsung melalui civil recovery). Aset recovery langsung melalui civil recovery dilakukan melalui gugatan perdata terhadap pemilik harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi dan  harta benda tersebut ditempatkan di negara lain. Romli Atmasasmita menyebutkan gugatan semacam ini sudah tentu memerlukan bantuan negara setempat yang telah terbukti memerlukan biaya relatif besar, seperti halnya gugatan atas kekayaan mantan Presiden Marcos di Swiss yang berakhir dengan “perdamaian” antara pemerintah Filipina dan Imelda Marcos.[13] Khusus terhadap jalur hukum pidana yaitu aset recovery secara tidak langsung maka proses pengembalian aset lazimnya melalui 4 (empat) tahapan, yaitu: pertama, pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi aset, bukti kepemilikan aset, lokasi penyimpanan aset dalam kapasitas hubungan dengan delik yang dilakukan. Kedua, pembekuan atau perampasan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf f KAK 2003 aspek ini ditentukan meliputi larangan sementara untuk menstransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten. Ketiga, penyitaan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf g KAK 2003 diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten. Keempat, pengembalian dan penyerahan aset-aset kepada negara korban.

           Selanjutnya, pada KAK 2003 pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi dapat melalui pengembalian secara langsung melalui proses pengadilan yang dilandaskan kepada sistem “negatiation plea” atau “plea bargaining system”,[14] dan melalui pengembalian secara tidak langsung yaitu melalui proses penyitaan berdasarkan keputusan pengadilan (Pasal 53 s/d Pasal 57 KAK 2003).

          Pengembalian aset melalui proses pengadilan yang dilandaskan kepada sistem “negatiation plea” atau “plea bargaining system” hakikatnya merupakan polarisasi yang dikenal dalam sistem common law. Eksistensi sistem “negatiation plea” atau “plea bargaining system” erat berkorelasi dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP) khususnya di Amerika Serikat dengan “adversary system” atau “accusatorial system”. Dalam konteks ini maka sistem “negatiation plea” atau “plea bargaining system”  terdapat dalam tahap “Arraigment” dan “preliminary hearing”. Pada proses ini melingkupi pemberitahuan mengenai tuduhan dan pemberian kesempatan kepada tertuduh untuk menjawab apakah akan menyatakan tidak bersalah (“not guilty”) atau bersalah (“guilty”) atau menyatakan tidak menentang tuduhan dipakai terminologi “nolo contendere” (no contest). Apabila tertuduh mengakui bersalah maka proses berikutnya adalah langsung penjatuhan hukuman tanpa melalui “trial”. Akan tetapi sebaliknya, apabila tertuduh menyatakan tidak mengakui bersalah maka perkara dilanjutkan dan diadili dengan mempergunakan sistem juri.

           Romli Atmasasmita dengan bertitik tolak pada batasan dari Black’s Law Dictionary, Albert Alschuler, Harvard Law Riview, F. Zimring and R. Frase dan Welsh S. White menyimpulkan tentang “plea bargaining” beberapa hal sebagai berikut:

      1. bahwa “plea bargaining” ini pada hakikatnya merupakan suatu negosiasi antara pihak penuntut umum dengan tertuduh atau pembelanya ;
      2. motivasi negosiasi tersebut yang paling utama ialah untuk mempercepat proses penanganan perkara pidana ;
      3. sifat negosiasi harus dilandaskan pada “kesukarelaan” tertuduh untuk mengakui kesalahannya dan kesediaan penuntut umum memberikan ancaman hukuman yang dikehendaki tertuduh atau pembelanya ;
      4. keiikutsertaan hakim sebagai wasit yang tidak memihak dalam negosiasi dimaksud tidak diperkenankan.[15]  

 

         Pengembalian aset secara langsung diatur di dalam ketentuan Pasal 53 KAK 2003 yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

          Each State Party shall, in accordance with is domestic law:

  1. Take such measures as may be necessary to permit another State Party to initiate civil action in its courts to establish title to or ownership of  property acquired through the commisson of an offence established in accordance with this Convention ;
  2. Take such measures as may be necessary to permit  its courts to order those who have commited offences established in accordance with this Convention to pay compensation, damages to another State Party that has been harmed by such offences ; and
  3. Take  such measures as may be necessary to permit its courts or competent outhorities, when having to decide on confiscation to recognize another State Party’s claim as a legitimate owner of property acquired through the commission of an offence established in accordance with this Convention.

 

            Pada dasarnya ketentuan Pasal 53 KAK 2003 menentukan sistem pengembalian aset secara langsung dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu: Pertama, adanya kewajiban setiap Negara peserta konvensi untuk menyediakan sarana hukum kepada Negara lain guna mengajukan “civil action” (gugatan perdata) kepada pengadilan Negara setempat serta menetapkan kepemilikannya atas harta kekayaan yang telah diperoleh dari tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam konvensi ini. Aspek ini diatur secara limitatif dalam ketentuan Pasal 53 huruf (a) KAK 2003. Kedua, memberikan izin kepada pengadilan Negara setempat  memerintahkan kepada pelaku tindak pidana korupsi untuk membayar kompensasi atau ganti rugi kepada Negara lain yang dirugikan akibat tindak pidana tersebut (Pasal 53 huruf (b) KAK 2003). Ketiga, mengambil tindakan untuk mengijinkan pengadilan setempat atau lembaga yang berwenang untuk mengakui juga klaim pihak ketiga atas kepemilikan harta kekayaan yang akan dilakukan penyitaan.

           Pengembalian aset secara tidak langsung diatur dalam ketentuan Pasal 54-55 KAK 2003 dimana sistem pengembalian aset tersebut dilakukan melalui proses kerjasama internasional atau kerjasama untuk melaksanakan penyitaan. Apabila diperinci secara global maka dapat melalui aspek-aspek sebagai berikut:

          • Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan otoritas yang berkompeten untuk memberlakukan perintah penyitaan yang dikeluarkan oleh suatu pengadilan dari Negara Peserta lain ;
          • Mengambil tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan otoritas yang berkompeten, dimana mereka mempunyai yurisdiksi untuk memerintahkan penyitaan atas kekayaan yang berasal dari luar negeri dengan putusan pengadilan atas kejahatan pencucian uang atau kejahatan lainnya sebagaimana dalam yurisdiksi mereka atau dengan prosedur lain berdasarkan hukum nasionalnya ; dan
          • Mempertimbangkan untuk mengambil tindakan yang mungkin diperlukan untuk memperkenankan penyitaan atas harta kekayaan tanpa penuntutan (pidana) dalam kasus dimana pelakunya meninggal dunia atau tidak diketahui keberadaannya atau dalam kasus-kasus khusus lainnya.

            Dalam melakukan penyitaan tersebut maka setiap Negara peserta KAK 2003 melakukan kerjasama internasional untuk pengembalian aset hasil korupsi. Dimensi ini diperkuat lagi ketentuan “International Cooperation” sebagaimana ketentuan Pasal 43 s/d Pasal 50 Konvensi termasuk di dalamnya terhadap ketentuan mengenai ekstradiksi, perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual assistance in criminal matters), pengalihan proses peradilan pidana (transfer of criminal proceedings), pengiriman orang-orang yang dihukum (transfer of sentenced persons), kerjasama penegakan hukum (law enforcement cooperation) dan investigasi bersama (joint investigations).

         Pada dasarnya, apabila diperbandingkan civil recovery mempunyai kelebihan dengan criminal recovery dimana pada civil recovery dapat dipergunakan pembalikan beban pembuktian berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat 8 KAK 2003 yang menegaskan tersangka wajib membuktikan keabsahan harta kekayaan yang diduga kuat berasal dari korupsi. Romli Atmasasmita  menyebutkan lebih lanjut aspek ini dengan dimensi sebagai berikut:

                “Pembuktian terbalik untuk merampas harta kekayaan yang diduga berasal dari korupsi melalui Civil Recovery tidak merupakan pelanggaran HAM tersangka, karena yang harus dibuktikan adalah asal usul harta kekayaannya di mana seorang pemilik harta kekayaan tersebut ditempatkan dalam posisi sebelum menjadi kaya. Namun demikian, proses pembuktian terbalik itu tidak serta merta menempatkan pemilik harta kekayaan –jika tidak dapat membuktikan harta kekayaannya- menjadi terdakwa untuk kasus tindak pidana korupsi. Ketidakmampuan orang yang bersangkutan untuk membuktikan keabsahan harta kekayaannya tidak dapat dijadikan bukti untuk menuntut orang itu dalam perkara tindak pidana korupsi.”[16]

 

          Strategi KAK 2003 konteks di atas dalam pengembalian aset hasil korupsi dengan menggunakan teori probabilitas berimbang yang diturunkan (lower-balanced probability) terhadap kepemilikan harta kekayaan yang merupakan aset hasil korupsi dan sekaligus tetap mempertahankan teori tersebut dalam posisi yang sangat tinggi (highest balanced probability) dalam hal perampasan kemerdekaan seseorang tersangka maka pembuktian demikian tidak bertentangan dengan HAM. Tegasnya, dalam praktik berdasarkan titik tolak Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong Nomor 90 Tahun 1992 tanggal 18 Juni 1992 antara Attorney General of Hong Kong v Lee Kwang Kut dan Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong Nomor 52 Tahun 1995 tanggal 3 April 1995 antara Attorney General of Hong Kong v Hui Kin Hong, Putusan Mahkamah Agung India antara State of Madras v A. Vaidnyatha Iyer dan Putusan Mahkamah Agung India antara State of Est Bengal v The Attorney General for India ((AIR 1963 SC 255) dan Putusan Mahkamah Agung Pakistan dalam kasus Muhammad Siddique v Thee State of India (1977 SCMR 503), Ikramuddin v The Sate of India (1958 Kar. 21), Ghulam Muhammad v The State of India (1980 P. Cr. L.J. 1039) dan Putusan Badshah Hussain v The State of India (1991 P. Cr. L.J. 2299) secara eksplisit menyatakan pembalikan beban pembuktian “balanced probabilities” antara Jaksa dengan terdakwa yaitu Jaksa membuktikan kesalahan dari terdakwa sedangkan terdakwa menjelaskan tentang asal usul kepemilikan harta bendanya tersebut tidak bertentangan dengan HAM. Selain itu, mekanisme pembalikan beban pembuktian  melalui proses keperdataan telah dilaksanakan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat. Kemudian mekanisme pembalikan beban pembuktian melalui proses kepidanaan telah dilaksanakan di Singapura (Section 4 Singapore Confiscation of Benefits Act) dan Hong Kong (Section 12 A Hong Kong Prevention Bribery Ordinance 1991).[17] Dalam mekanisme kepidanaan khususnya terhadap asal usul kepemilikan harta kekayaan maka pelaku dibebankan untuk menjelaskan harta kepemilikannya karena bagaimanapun pelaku saja yang lebih tahu tentang bagaimana mendapatkan kekayaan yang tidak sepadan dengan penghasilannya. Pada praktik peradilan di Hong Kong, India dan Pakistan maka mekanisme kepidanaan ini terhadap asal usul harta milik pelaku tindak pidana korupsi mempergunakan teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability principles) dari Oliver Stolpe sehingga implementasinya tetap menjunjung tinggi HAM dan ketentuan hukum acara pidana. Teori balanced probability principles menempatkan hak asasi pelaku tindak pidana korupsi dalam kedudukan (level) paling tinggi mempergunakan teori probabilitas berimbang yang sangat tinggi (highest balanced probability principles) dengan sistem pembuktian menurut UU secara negatif atau beyond reasonable doubt. Kemudian secara bersamaan di satu sisi khusus terhadap asal usul harta kekayaan milik pelaku tindak pidana korupsi diterapkan asas pembalikan beban pembuktian melalui teori probabilitas berimbang yang diturunkan (lowest balanced probability principles) sehingga kedudukannya lebih rendah dibandingkan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) karena harta kekayaan orang ditempatkan pada level paling rendah ketika pelaku tersebut dalam kedudukan belum kaya.***

 


[1]            Dimensi ini relatif identik dalam perspektif hukum adat dimana dengan dilakukan pemenuhan kewajiban adat maka diharapkan adanya kesimbangan pada komunitas masyarakat adat yang bersangkutan sehingga telah terjadi kesimbangan antara alam kosmis dan makrokosmis atau antara alam kala dengan alam niskala

[2]            Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Penerbit Alumni, Bandung, 2008, hlm. 7

[3]            Pasal 32 ayat (1) menentukan: “Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.” Ayat (2) menentukan: “Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapus hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.”

[4]           Pasal 33 menentukan: “Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”

[5]           Pasal 34 menentukan: “Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”

[6]           Pasal 38 C menentukan: “Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud Pasal 38C ayat (2) maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.”

[7]          Pasal 38 ayat (5) menentukan: “Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.”

[8]            Pasal 38 ayat (6) menentukan: “Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam  ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding.”

[9]           Pasal 38B ayat (2) menentukan: “Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.”

[10]             Ketentuan pidana pokok dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 yang merupakan perumusan sanksi pidana (strafsoort) dapat terdiri dari pidana mati, pidana penjara (seumur hidup atau pidana minimal umum atau maksimal khusus) dan atau pidana denda dimana hakim dalam putusannya dapat juga menjatuhkan adanya kumulasi dari pidana pokok.

[11]            Menurut Collin Howard dikenal adanya 4 (empat) sistem perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) yaitu sistem fixed/definite sentence berupa ancaman pidana yang sudah pasti, sistem indefinite sentence berupa ancaman lamanya pidana secara maksimum, kemudian sistem determinate sentence berupa ditentukannya batas minimum dan maksimum lamanya ancaman pidana dan sistem indeterminate sentence berupa tidak ditentukan batas maksimum pidana; badan pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan (diskresi) pidana kepada aparat-aparat pelaksana pidana yang berada pada tingkatan yang lebih rendah, misalnya dalam menetapkan ukuran, sifat atau lamanya pidana untuk pelaku kejahatan tertentu. (Collin Howard, An Analysis of Sentencing Authority, in Reshaping the Criminal Law, P.R. Glazebrook (ed), Stevens & Sons, London, 1978, hlm. 47). Sedangkan menurut Sue Titus Reid dikenal juga 4 (empat) sistem perumusan yaitu tidak ditentukan (indeterminate), tertentu (determinate), terduga (presumptive), dan bersifat memerintahkan (mandatory). (Sue Titus Reid, Criminal Justice, Procedures and Issues, Chapter 12, University of Tulsa, New York, 1987, hlm 353).                                                                                                                                  

 

[12]                Oliver Stolpe, Meeting the burde of proof in corruption-related legal proceedings, unpublished, hlm. 3

[13]             Romli Atmasasmita, Pengembalian Aset Korupsi: Masukkan Konverensi Internasional Anti Korupsi 2008, Koran Seputar Indonesia, Edisi Senin, 13 Agustus 2007

[14]            Profesor Albert Alschuler secara teliti telah mengungkapkan sejarah “plea bargaining system”. Pada bagian pertama dari artikelnya, “Plea Bargaining and Its History” (1979), ia mengetengahkan pernbedaan antara praktik sebagaimana diuraikan di atas pada masa “common law” maupun pada era perkembangan “plea bargaining system” versi sekarang. Pada masa “common law”, terhadap seorang tertuduh telah diberikan perlakuan yang tidak kejam, karena ia telah membantu penuntut umum dalam melakukan penuntutan terhadap orang lain dalam perkara tertentu, akan tetapi bukanlah karena ia (tertuduh) telah mengakibatkan penuntutan menjadi lebih mudah, atu karena ia (tertuduh) telah berbuat baik terhadap si korban, terhadap siapa ia melakukan kejahatan. Selanjutnya, Alschuler mengemukakan, bahwa semula “plea bargaining” ini muncul pada pertengahan abad ke-19, dan kemudian dikenal dalam bentuknya seperti sekarang ini. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sistem ini sangat berperanan dalam mengatasi kesulitan menangani perkara pidana. Bahkan pada sekitar tahun 1930, pengadilan di Amerika Serikat sangat bergantung pada sistem ini. Pada tahun 1958, Mahkamah Agung (Supreme Court of Justice) Amerika Serikat pernah menyatakan bahwa praktik “plea bargaining” adalah ilegal. Akan tetapi atas keberatan Departemen Kehakiman (Department of Justice) kehendak tersebut tidak dilaksanakan. Bahkan akhirnya pada tahun 1970, Mahkamah Agung menyatakan pendapatnya, bahwa “plea bargaining was inherent in the criminal law and its administration” (Brad v. United States, 397 U.S. 742 (1970). Hingga saat ini tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh untuk menghapuskan sistem ini, oleh karena adanya sistem tersebut tampaknya telah diperoleh suatu “fair trail” dan “accurancy” dalam penangnan perkara pidana. (Romli Atmasasmita,  Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung, 1996, hlm.106-107)

 

[15]            Romli Atmasasmita,  Sistem Peradilan Pidana Perspektif ....., Ibid., hlm. 113-114

[16]            Romli Atmasasmita, Pengembalian Aset Korupsi..., Loc. Cit.

[17]            Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Disertasi, Program Pascasarjana Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 2007, hlm. 241 dan: Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Majalah Varia Peradilan,  Tahun Ke XXII No. 264, November 2007, Ikatan Hakim Indonesia, IKAHI, hlm. 45


Tidak ada komentar:

Posting Komentar